Thursday, August 2, 2007

Australia Bantu 2000 Sekolah Islam di Indonesia

Kamis, 02 Agustus 2007

Australia menyisihkan 2,5 trilyun mendanai sekolah dan madrasah. Sebelum ini negara Barat minta perubahan kurikulum sekolah Islam. Kampanye terselubung?

Hidayatullah.com--Duta Besar Australia untuk Indonesia dan Sekjen Departemen Agama telah meresmikan 46 madrasah baru sebagai bagian dari program bernilai 29 juta dollar dari Australia.

Upacara peresmian dilakukan Selasa kemarin, dengan dihadiri Duta Besar Australia untuk Indonesia, Bill Farmer, dan Sekjen Departemen Agama RI, Prof Bahrul Hayat. Acara dipusatkan di Madrasah Tsanawiyah (MTs) PSA Al Fauzan di Labruk Lor (Lumajang). Sekolah ini, dibangun dengan bantuan dari Australia. Sekolah Al Fauzan didirikan di atas tanah yang disumbangkan oleh Bupati setempat dan Yayasan Al Fauzan untuk masyarakat umum.

Menurut rencana, pembangunan ke-46 sekolah yang sudah dimulai tahun 2006 dan telah siap untuk tahun ajaran 2007 ini. Sebagaimana ditulis dalam situs resmi Kedubes Australia di Jakarta, tahap berikutnya juga melakukan pekerjaan pembangunan 275 sekolah-sekolah Islam lainnya dan akan dimulai pada minggu-minggu yang akan datang agar dapat dipergunakan pada pertengahan 2008.

Duta Besar Farmer mengatakan bahwa sekolah-sekolah ini adalah bagian dari program Pemerintah Australia senilai Rp2,5 trilyun yang mendanai pembangunan atau pengembangan dari 2000 sekolah di 20 propinsi di Indonesia hingga 2009.

“Dari 2000 sekolah-sekolah ini, 500 diantaranya adalah madrasah, - yang mendemonstrasikan dengan jelas betapa pentingnya sekolah-sekolah Islam bagi sistem pendidikan Indonesia, dan kepahaman Australia akan peran mereka dalam mendidik anak-anak Indonesia,” kata Farmer.

Program konstruksi ini akan menciptakan lebih dari 330.000 tempat baru bagi pelajar sekolah menengah pertama antara usia 13 hingga 15 tahun, dengan sasaran utama anak-anak dari keluarga miskin dan daerah terpencil.

“Australia terus menerus mendukung pendidikan di Indonesia, kami menyadari bahwa hal ini akan meningkatkan kualitas hidup masyarakat secara signifikan,” tambah Farmer.

Sebanyak 330 sekolah menengah pertama lainnya telah dibangun dengan bekerja sama dengan Departemen Pendidikan Nasional. Hingga 1200 sekolah umum dan sekolah Islam diharapkan akan selesai pada pertengahan 2008.

Perubahan Kurikulum

Seperti dikutip situs Radio Australia, Kamis, (2/8), tujuan bantuan Australia itu sebagian untuk mengurangi pengaruh ”Islam radikal” yang menggunakan madrasah sebagai tempat pelatihan ”terorisme”.

Pasca 11 September, sejumlah nagara Barat sangat bersemangat ingin merombak kurikulum madrasah dan pondok pesantren. Australia, diantara negara yang sebelumnya pernah ikut mengusulkan dan mendesak Indonesia.

Sejak tahun 2004 lalu, Pemerintah Australia sudah meluncurkan program Learning Assistance Program for Islamic Schools (LAPIS). Kegiatan program ini difokuskan untuk bekerja dengan madrasah swasta atau MI dan MTs yang berada di daerah kantong kemiskinan serta fokus pada anak-anak miskin dan perempuan.

Selama beberapa tahun ini, sejumlah perwakilan pondok pesantren Indonesia mendapat beasiswa bergantian ke Inggris.

Baru-baru ini, calon presiden Amerika, Barack Obama. Sempat diserang dengan isu 'madrasah'. Barack, yang pernah sekolah di Jakarta, diisukan lulusan madrasah saat tinggal di Indonesia. Kasus ’madrasah’ mencuat setelah Fox News membuat tulisan menuding Barack. Namun, Fox News mendapatkan kritikan luas setelah tidak menunjukkan data dan fakta yang akurat.

Kasus ini sempat membuat pemerintah Indonesia melobi Amerika tentang status madrasah. "Kita terus jelasakan kepada mereka, bahwa madrasah dan pesantren di Indonesia mengacu pada kurikulum nasional, dan mereka bisa mengerti," ujar Menteri Luar Negeri (Menlu) Hassan Wirajuda kepada detikcom usai raker dengan Komisi I DPR, di gedung DPR, bulan Januari di Jakarta.

Sebagian pihak menilai, bantuan seperti ini tidak akan produktif jika masih ada kampanye ”terselubung” Barat untuk mendikte Indonesia dan sekolah-sekolah Islam. Bukan tidak mungkin, bantuan-bantuan seperti ini akan lebih besar di masa mendatang. [cha, berbagai sumber/www.hidayatullah.com]

Strategi Baru AS, Gandeng Arab Saudi

Kamis, 02 Agustus 2007

Arab Saudi telah memberikan dukungan terhadap konferensi perdamaian yang disponsori Amerika Serikat (AS) yang akan diselenggarakan tahun ini

Hidayatullah.com-- Arab Saudi akan menghadiri konferensi yang diseponsori Amemrika itu bersama Israel dan Palestina serta negara-negara Arab lainnya. Kalangan yang diundang ini, tentu yang dipandang ”moderat” oleh Amerika.

Arab Saudi adalah negara yang tidak mempunyai hubungan diplomatik dengan Israel. Namun Saudi termasuk sekutu Amerika Serikat.

Sebelum ini, Menlu Amerika, Condoleeza Rice, mengatakan konfrensi perdamaian ala Amerika itu diharapkan menghidupkan kembali pembicaraan damai yang macet.

Condi, akan bertemu dengan para pemimpin Israel dan Palestina untuk menghidupkan kembali perundingan menyusul pengambil-alihan Jalur Gaza oleh Hamas.

Strategi Baru

AS menjalankan strategi barunya yang dianggap banyak pihak akan menyulut instabilitas baru di Timur tengah. Beberapa waktu lalu, AS memberi bantuan persenjataan senilai milyaran dolar kepada Zionis-Israel dan sejumlah negara-negara Arab. Strategi itu digulirkan bersama dengan propaganda anti-program nuklir Iran.

Para pejabat Gedung Putih berupaya mengklaim bahwa tujuan mereka menandatangani kontrak penjualan senjata dengan sejumlah negara Timur Tengah adalah dalam rangka mengantisipasi program nuklir Iran. Koran New York Times mengutip keterangan para politisi Gedung Putih menulis, pengiriman persenjataan dengan kuantitas masif ke Timur Tengah diharapkan dapat mencegah berlanjutnya program nuklir Iran.

AS juga melakukan kontrak penjualan senjata senial 63 milyar dolar dengan Arab Saudi dan lima negara Arab lainnya di Teluk Persia, termasuk Mesir dan Uni Emirat Arab.

Sementara itu, Hamas mengkritik kunjungan Menlu AS itu ke negara-negara Timur Tengah. Mantan Menlu Palestina, Mahmoud Az-Zihar, dalam konferensi persnya kemarin mengkritik kunjungan Rice dan Menteri Pertahanan AS, Robert Gates, ke Timur Tengah, dengan menyatakan, " Sebagaimana terbukti pada pengalaman sebelumnya, kunjungan semacam ini sama sekali tak menguntungkan bangsa Palestina dan menjadikan bangsa ini sebagai korban Washington yang sengaja mengulur waktu."

Dan biasanya, pertemuan-pertemuan seperti itu hanya akan menguntungkan Amerika Serikat (AS). [cha, berbagai sumber/www.hidayatullah.com]

Wednesday, July 11, 2007

Sisi Lain Kasus Masjid Merah

Rabu, 11 Juli 2007

Akar konflik Masjid Merah dan pemerintah telah berjalan lama. Namun, faktanya, Musharraf mengeluarkan tuduhan Al-Qaidah. Untuk melegalkan serangan?

Hidayatullah.com—"Kejahatan kita tidak seberapa dan tidak seharusnya dihukum seberat ini," demikian jawaban ulama yang juga pemimpin Masjid Merah, Maulana Abdul Rashid Ghazi sebelum dikabarkan ikut meninggal oleh serangan pasukan Pakistan sebelum ini.

Meskipun demikian, dirinya mengaku tak akan tunduk di bawah naungan pemerintahan Musyarraf yang diakuinya telah keluar dari syariah Islam. ”Sejumlah menteri melakukan kontak telepon kepada saya supaya menyerah. Akan tetapi, kepada mereka saya mengatakan tak akan menyerah dan siap mati," ujarnya dikutip sebuah media Iran.

Ghazi adalah tokoh utama sekolah Islam yang satu kompleks dengan masjid utama yang dikenal sebagai Masjid Merah. Letak sekolah itu sendiri berada disamping masjid.

Kasus pengepungan Masjid Merah sesungguhnya bermula sudah cukup lama. Setidaknya, dimulai dengan memburuknya hubungan antara pihak pemerintah (diwakili Presiden Pervez Musharraf) dan Maulana Abdul Rashid Ghazi di pihak lain akibat perbedaan pandangan.

Beberapa bulan sebelum terjadinya kasus pengepungan areal masjid dan sekolah Islam itu, hubungan pemerintah Pakistan dengan jamaah masjid Merah sangat buruk yang akhirnya berujung serbuan yang menewaskan 160 santri kemarin.

Sebagaimana diketahui, ulama dan santri menuduh pemerintah Pakistan telah keluar dari Islam. Maulana Abdul Rashid menganggap, Musharraf adalah pemerintahan yang thahgut.

Harap tahu, Masjid Merah adalah masjid yang menjadi basis bagi penegakan syariah Islam di pakistan. Para ulama dan santri di Masjid Merah menganggap, berbagai tindakan Musharraf –khususnya hubungannya dengan AS—telah keluar dari Islam. Itu ditandai kedekatan Musharraf dengan Amerika, yang setidaknya telah banyak mengorbankan warga Muslim negeri itu. Tak sedikit para santri, ulama atau aktivis Islam sudah diserahkan Musharraf ke Amerika dan selanjutnya dibawah ke Guantanamo dengan alasan ’kampanye melawan teror’ nya Amerika.

Hubungan itu terus memburuk, sampai pada desakan pihak ulama Masjid Merah agar Mushararraf menerima pengadilan Syariah. Musharraf yang sejak awal seorang militer dan lebih dekat dengan Amerika tentu saja menolak. Suasana kian meruncing, tatkala aparat Pakistan melakukan penghancuran tujuh masjid dengan alasan ilegal. Sejak itu suasana ini menjadi makin panas hingga berujung pada pengepungan masjid tanggal 3 Juli 2007.

Sebaliknya, para santri dan pengasuh menilai, dirinya, kini, telah berhadapan dengan pemerintah Pakistan yang dan wajib hukumnya melancarkan aksi-aksi perlawanan yang dinilainya sebagai amar ma'ruf nahi munkar dan berakhir dengan yang berakhir meninggalnya 160 santri itu.

Simpati Barat

Entah karena ingin mencari simpati pada dunia atau ingin mendapat pujian Amerika, tiba-tiba Pakistan menyelesaikan konflik ini dengan menyeret pada stigma Al-Qaidah, tuduhan paling mudah untuk mebolehkan membunuh kaum Muslim.

Sebagaimana dikutip AFP, aparat menuduh di belakang Masjid Merah ada organisasi Harkatul-Jihad-e-Islami, (Gerakan Perang Suci Islam), salah satu organisasi Islam yang dikait-kaitkan AS dengan Al-Qaidah. Menariknya, penyebutan kelompok itupun masih pada taraf kecurigaan. Artinya, belum jelas benar.

"Kami yakin di sana ada militan dari Harkatul-Jihad-e-Islami, yang terlibat pembunuhan Pearl. Berdasarkan intelijen, kami mencurigai bahwa dua orang komandan kelompok itu ada di dalam," kata seorang pejabat tinggi kepada AFP yang tak mau disebut namanya.

Ghalibnya, berbagai media massa Barat (bahkan juga ditiru media Indonesia) ikut ramai-ramai mengamini tanpa melihat akar masalah. Penyebutan istilah radikal, aliran keras, seolah membolehkan membunuh banyak orang secara seenaknya.

Sejumlah anggota legislatif dan akademisi menuding Musharraf tutup mata terhadap upaya para ulama di Masjid Merah dalam bidang pendidikan. Mereka menilai peristiwa ini sebagai upaya Musharraf untuk mengalihkan perhatian rakyat dari isu-isu pemerintah yang lebih penting.

Karena itu, para pemimpin oposisi Pakistan mendesak Presiden Pervez Musharraf untuk mengundurkan diri dari jabatannya. Mereka juga mendesak pemerintah untuk mengizinkan mantan Perdana Menteri Benazir Bhutto dan Nawaz Sharif agar dapat kembali pulang ke negaranya.

Dalam pernyataan bersama di sebuah konferensi di London, Inggris, para pemimpin oposisi menyatakan peraturan militer Presiden Musharraf terbukti telah membawa Pakistan ke jurang kehancuran, perpecahan dan kerusuhan. Parlemen Pakistan sendiri sudah dipinggirkan dan tidak punya kekuatan lagi.

Konferensi yang dihadiri 38 perwakilan partai itu mendesak Presiden Musharraf mundur dari jabatannya. Pervez Musharraf mulai berkuasa sejak 1999 dalam sebuah kudeta yang menyingkirkan Nawaz Sharif. Ia kemudian menyatakan dirinya sebagai presiden tahun 2001.

Sementara itu, Mantan Perdana Menteri Pakistan Nawaz Sharif menuntut Musharraf mengundurkan diri menyusul meningkatnya instabilitas dan banyaknya upaya pembunuhan terhadap Musharraf.

"Dia harus mundur. Jika tidak, 160 juta penduduk Pakistan akan memaksa dia mundur," kata Sharif di sela-sela sebuah konferensi di London, Inggris, Sabtu. Sharif juga menyerukan digelarnya pemilu baru di bawah sebuah pemerintahan sementara yang tidak melibatkan Musharraf.

Musharraf menghadapi instabilitas yang semakin meningkat dalam beberapa bulan terakhir, termasuk pendudukan Masjid Merah, serangan kelompok Islam, dan gelombang protes akibat kebijakannya memecat hakim agung.

Instabilitas itu memicu spekulasi bahwa Musharraf akan mendongkrak dukungan meMerahui kesepakatan pembagian kekuasaan dengan Mantan Perdana Menteri Benazir Bhuto dan Partai Rakyat Pakistan yang dipimpinnya.

Sebaliknya, tokoh-tokoh opisisi Pakistan berpendapat lain. Seorang tokoh oposisi menilai, tindakan Musharraf hanya ingin menunjukkan pada Barat (baca Amerika) bahwa Pakistan bisa menanggulangi kelompok Islam.

"Pemerintahan Musharraf yakin semua persoalan bisa diselesaikan dengan kekuatan militer dan peluru, tidak peduli apa reaksi yang muncul. Pemerintah sengaja mengangkat isu ini, kemudian melancarkan operasi berdarah, untuk menunjukkan pada Barat bahwa dia mampu mengatasi masalah militansi, " ujar Qazi Hussein Ahmed, Presiden Muttehida Majlis-e-Amal (MMA), aliansi partai-partai Islam yang menjadi oposisi. Andai tengarai Hussein Ahmed itu benar, maka, sebegitukah ongkos yang harus ditunjukkan oleh para penguasa sebagai bentuk kesetiaan kepada Amerika? [cha, berbagai sumber/www.hidayatullah.com]

Al Ghazi: Ulama yang Pernah Bekerja Untuk “Barat”

Rabu, 11 Juli 2007

Tokoh utama yang ikut tewas oleh serangan aparat Pakistan adalah, Maulana Abd Rasyid Al Ghazi. Siapakah sesungguhnya dia? Mengapa bisa membawa senjata?

Hidayatullah.com--Abdur Rasyid Al Ghazi sejak kecil memang telah menghafal Al Qur’an, akan tetapi ia enggan untuk melanjutkan sekolah diniyah dan memilih untuk menjalani pendidikan tingkat SMU di sekolah pemerintah. Ayahnya, Abdullah sebenarnya menginginkan agar ia bisa menjadi penggantinya kelak, seperti kakaknya Abdul Aziz.

Akan tetapi ia cenderung memilih sekolah umum. Ia pernah mencoba untuk mengikuti pendidikan di Jami’ah Al Faridiyah yang berada satu komplek dengan Masjid Merah, tapi tidak lama kemudian ia keluar dan melanjutkan ke salah satu universitas negeri di Karachi hingga memperoleh gelar master dalam bidang sejarah dan fasih dalam bahasa Inggris.

Tak lama setelah itu, ia menjadi pegawai yang berada dibawah Kementrian Pendidikan, dan bahkan kemudian bekerja di salah satu badan PBB yang bergerak dalam bidang pendidikan (UNESCO).

Baru setelah ayahnya Abdullah dibunuh karena alasan agama tahun 1998, sifat Al Ghazi berubah total. Ia bahkan begitu perhatian dengan isu-isu keagamaan. Ia bahkan mulai berkhutbah di masjid. Itulah yang membuat kakaknya Syaikh Abdul Aziz bergembira dan menunjuknya sebagai wakil imam di Masjid Merah walau ia masih tetap menjadi pegawai pemerintah.

Nama Abdul Rasyid Al Ghazi tambah berkibar sebagai tokoh agama di media-media masa pada tahun 2001. Terutama, ketika kelompok-kelompok Muslim mendirikan ”Gerakan Pembela Afghanistan” untuk merespon serangan Amerika ke Afghanistan.

Ia juga sebagai salah satu tokoh penting yang berada di balik berbagai demonstrasi yang terjadi di Pakistan sebagai penentangan atas serangan Amerika ke Afghanistan pada waktu itu.

Sejak saat itu, namanya terus dikenal. Sampai-sampai, beberapa pihak, tepatnya tahun 2004 terjadi usaha percobaan pembunuhan terhadap dirinya dan kelompoknya. Akibat seringnya terjadi usaha pembunuhan, menyebabkannya selalu menaruh senapan Klasenkov buatan Rusia di dalam mobilnya. Kemungkinan, pembunuhan sang ayah, telah ikut mengilhaminya hingga untuk selalu membawa senapan ke manapun saat pergi dengan pengawalan teman-temannya. Apalagi di tempat itu, senjata sisa perang Afghan masih mudah di dapat. Yang sedikit orang tahu, Al Ghazi, adalah pejuang tegakknya syariah Islam di Pakistan. Yang, tentu saja paling kurang diinginkan Barat. [IoL/Toriq/www.hidayatullah.com]

160 Santri Tewas oleh Serbuan Aparat Pakistan


Cetak halaman ini Kirim halaman ini melalui E-mail
Rabu, 11 Juli 2007
Aparat Pakistan akhirnya menyerbu Masjid Merah. Tak ayal, puluhan santri sekitar 169 orang lebih tewas oleh terjangan senjata

Hidayatullah.com—Aparat keamanan Pakistan akhirnya menyelesaikan persoalan berkaitan dengan Masjid Merah (Lal Masjid) dengan harus menewaskan 160 santri, termasuk pemimpin kharismatik sekolah Islam Maulana Abdul Rashid Ghazi.

Sebagaimana diketahui, pasukan pemerintah yang sudah sepekan mengepung masjid itu nekat menyerbu madrasah yang terhubung di sampingnya. Pasukan pemerintah melancarkan serangan menjelang fajar kemarin. Namun, hingga sepuluh jam setelah penyerbuan, pasukan pemerintah belum berhasil menangkap santri yang bercokol di masjid tersebut.

"Kelompok pertama yang dibebaskan para santri adalah 50 perempuan. Mereka tiba-tiba muncul menyusul 26 anak yang melarikan diri," kata Khalid Pervez, pejabat senior pemerintah kota Islamabad.

Menurut salah seorang pejabat militer yang tidak mau menyebutkan identitasnya, istri dan anak perempuan Maulana Abdul Aziz termasuk dalam kelompok sandera yang dibebaskan. Aziz adalah saudara laki-laki ulama Abdul Rashid Ghazi sekaligus pemimpin Masjid Lal yang melarikan diri dengan mengenakan burqa pada hari kedua krisis.

Operasi pembebasan sandera tersebut mendapatkan perlawanan hebat dari kelompok santri yang bersembunyi di dalam masjid. Jubir militer Mayjen Waheed Arshad mengatakan, baku tembak berlangsung menegangkan. "Untuk menghindari terjadinya kerusakan parah, kami melakukan aksi tersebut secara bertahap. Kami memasuki kamar satu per satu," terang Arshad dalam konferensi pers kemarin.

Namun rencana itu berubah saat Presiden Pakistan, Pervez Musharraf mengizinkan pasukannya melancarkan aksi militer ke masjid tersebut setelah pihak pemerintah menganggap upaya perundingan gagal. Beberapa menit sebelum penyerbuan, mantan PM Chaudhry Shujaat Hussain menegaskan bahwa perundingan dengan Ghazi tidak membuahkan hasil.

"Perundingan gagal karena Ghazi meminta disediakan jalur aman untuk santri asing," lapor Menteri Agama Ijaz-ul Haq.

Ulama senior Rehmatullah Khalil yang terlibat dalam negosiasi tersebut menuding Musharraf sebagai biang kegagalan tersebut. Menurut dia, pemimpin 63 tahun itu telah menyabotase draf kesepakatan yang disusun sebelumnya. Sebenarnya Hussain telah merancang kesepakatan yang diyakini akan disetujui Ghazi.

"Kami senang mendengar rancangan itu dan berharap bisa memberikan kabar baik kepada masyarakat. Tapi, pemerintah kemudian mengubah hampir seluruh isi rancangan tersebut," tuturnya kemarin.

Tak pelak, bentrokan terjadi. Santri yang bersenjata peluncur roket dan senapan mesin memindahkan Ghazi dan beberapa sandera ke sebuah kamar di lantai dasar.

Senangkan Barat

Keputusan Musharraf menyerbu masjid yang berada di jantung kota Islamabad tersebut disambut hangat sejumlah pakar politik. Sebab, menurut mereka, pemimpin pro-Amerika Serikat (AS) itu dihadapkan pada pilihan yang sama-sama sulit. Yaitu, bertahan di luar masjid dengan konsekuensi akan menghadapi ancaman teror pada masa-masa mendatang atau menggempur mereka dan menghadapi pertumpahan darah.

Karena itu, keputusan yang diambil Musharraf sudah tepat untuk mencegah terjadinya ancaman serupa pada masa yang akan datang. "Gejala ekstremisme di Pakistan sudah lebih nyata daripada ancaman semata. Gejala tersebut sudah mulai menggerogoti keamanan internal negeri ini," papar Rasool Bakhsh Raees, profesor ilmu politik di Lahore University of Management and Sciences yang pro pemerintah.

Munculnya krisis Masjid Lal secara tidak langsung telah menjadikan Musharraf sebagai pusat perhatian. Bagaimanapun, Musharraf dikenal sekutu dekat Presiden AS George W. Bush dalam perang antiteror global. Karena itu, ada anggapan, keputusan menyerang –meski itu mengorbakan rakyatnya sendiri—lebih baik dibanding reputasinya jatuh di mata Amerika.

"Jika pemerintah meluluskan permintaan Ghazi, citra Musharraf di mata negara-negara Barat akan hancur," papar Tauseef Ahmed, salah seorang dosen di Urdu University, Karachi.

Sementara itu, hingga hari ini tidak jelas benar, bagaimana sekolah Islam dan para santri itu bisa melawan aparat dengan menggunakan senjata. Dan tak satupun media -khususnya Barat-- secara kritis melakukan investigasi, dari mana sumber-sumber senjata itu diperoleh atau dipasok.

Harap tahu saja, santri Masjid Merah dikenal kuat mengkampanyekan syariah Islam. Namun media Barat –sebagaimana biasa diikuti serempak pers Indonesia tanpa seleksi—semua langsung menuduh seolah-olah mereka adalah kelompok militan dan kelompok radikal yang layak ditembaki. [cha, berbagai sumber/www.hidayatullah.com]

Thursday, July 5, 2007

Menhan Australia Buka Rahasia, Invasi ke Irak Motifnya Memang Minyak


Pengakuan Australia makin menguatkan dugaan tentang apa sebenarnya motif invasi AS dan koalisinya ke Irak. Untuk pertama kalinya, Negeri Kanguru mengakui bahwa minyaklah yang menjadi motif keikutsertaan mereka dalam invasi AS ke Negeri 1001 Malam itu.

Pengakuan tersebut dilontarkan oleh Menteri Pertahanan Australia Brendan Nelson, Kamis (5/7). Pada Australian Broadcasting Corporation ia mengatakan bahwa "pengamanan energi" adalah salah satu prioritas Australia mendukung invasi AS ke Irak.

Pernyataan Nelson makin menguatkan argumen para aktivis anti-perang yang meyakini bahwa invasi AS ke Irak tahun 2003 hingga hari ini, bertujuan untuk menguasai hasil minyak bumi Irak dan bukan untuk memberangus ancaman senjata pemusnah massal rejim Sadaam Hussein. Apalagi setelah itu terbukti tidak ada ancaman tersebut.

"Kenyataannya, bukan hanya Irak, tapi seluruh kawasanTimur Tengah adalah penyedia sumber energi yang penting bagi dunia, khususnya bahan bakar minyak, " ujar Nelson.

"Sangat penting bagi Australia untuk memandang bahwa itu juga menjadi kepentingan kita, untuk kepentingan keamanan kita, untuk memastikan bahwa kami berada di Timur Tengah, utamanya di Irak dalam posisi untuk menopang keamanan kami, " sambungnya.

Selain itu, kata Nelson, sangat penting bagi Australia untuk mendukung "pengaruh" AS dan Inggris. "Kami berada di sana juga untuk mendukung sekutu-sekutu utama kami yaitu AS, dan kami berada di sana untuk memastikan bahwa kami tidak akan terkena dampak terorisme akibat perang di Irak yang bisa mengganggu stabilitas wilayah kami, " imbuhnya.

Apa yang diungkapkan Nelson sangat bertolak belakang dengan pernyataan PM Australia John Howard saat invasi ke Irak Februari 2003 lalu. Saat itu Howard membantah bahwa motif invasi itu terkait minyak. Sama dengan sekutunya Presiden AS George W. Bush, Howard mengatakan bahwa invasi dilakukan terkait dengan ancaman senjata pemusnah massal yang dibuat rejim Saddam Hussein, pemimpin Irak saat itu. (ln/aljz)

eramuslim, Kamis, 5 Jul 07 14:49 WIB

Tuesday, June 19, 2007

"Studi Agama-Agama di Yogyakarta"

UGM membuka program ’studi agama-agama’. Sayang, jika pembukaan studi itu harus 'menjual' aqidah Islam. Baca Catatan Akhir Pekan Adian Husaini ke-199

Oleh: Adian Husaini

Beberapa hari lalu saya menerima sebuah brosur tentang studi agama-agama untuk tingkat doktor (Ph.D.) di Yogyakarta. Tepatnya, studi agama ini bernama ”Inter-religious International Ph.D. Program”. Program ini bertempat di Universitas Gajah Mada (UGM) Yogyakarta, dan terselenggara atas kerjasama UGM, UIN Sunan Kalijaga dan Universitas Kristen Duta Wacana (UKDW). Ketiga kampus itu bekerjasama membentuk satu konsorsium yang diberi nama ”Indonesian Consortium for Religious Studies” (ICRS- Yogya).

Direktur konsorsium ini adalah Pror Dr Bernard Adeney-Risakotta, seorang penganut Kristen asal Amerika Serikat. Sebenarnya, konsorsium ini sudah diresmikan di Yogya pada Januari 2007 lalu. Pengukuhan dilakukan oleh Sri Sultan di Kraton Yogya, yang juga dihadiri oleh Rektor UGM (ketika itu) Prof. Dr. Sofian Effendi, Rektor UIN Sunan Kalijaga Prof Dr HM Amin Abdullah, dan Rektor UKDW Pdt. Dr. Budyanto. Kini, ICRS sudah mulai menerima mahasiswa, dan direncanakan, perkuliahan akan dimulai pada September 2007 mendatang.

Juga, Harian Kompas (7 Oktober 2006), sudah pernah memuat berita tentang studi Lintas Agama untuk program S-3 yang diselenggarakan ICRS Yogya ini. Kompas menulis bahwa selain mempelajari lebih mendalam tentang keberagaman agama di Indonesia, pendirian program doktoral ini juga bertujuan untuk memberi pencerahan bagi masyarakat Indonesia agar tidak terjebak dalam fanatisme sempit. Ketika itu baru dalam tahap penandatanganan nota kesepahaman (MoU) penyelenggaraan program S3 Inter-Religious Studies oleh ICRS di Keraton Yogya.

Ketika itu, Sultan mengemukakan, sejak era reformasi, sebagian masyarakat kehilangan budaya rukun. Ini terbukti dari sering terjadinya benturan antarpenganut agama di Indonesia. "Fanatisme sempitlah yang melatarinya. Salah satunya karena terkadang ada pemimpin agama yang lebih menekankan prinsip superioritas dan eksklusif. Dalam khotbah atau ceramah misi misalnya, prinsip toleransi juga kurang ditekankan. Pola seperti ini harus dibenahi," kata Sultan, seperti dikutip Kompas.

Prof Dr Bernard Adeney, Director ICRS Yogya, mengutarakan, ICRS Yogya merupakan konsorsium pertama yang menggabungkan universitas-universitas dengan semangat saling percaya untuk belajar satu sama lain tentang keberagaman agama di Indonesia. "Program doktor ini akan mengkaji semua agama-agama di Indonesia melalui dialog dan pendekatan ilmu sosial sekuler, studi agama perspektif Islam, dan tradisi ilmu teologi Kristen. Agama-agama lain juga diteliti melalui pendekatan masing-masing yang diperkaya dengan dialog lintas agama," kata Bernard Adeney.

Sedangkan Rektor UIN Sunan Kalijaga Prof Dr HM Amin Abdullah menuturkan, dipilihnya Yogyakarta sebagai tempat penyelenggaraan program S3 Inter-Religious Studies ini dengan pertimbangan proses akulturasi sudah berjalan lama dan tidak ada masalah. "Kedua, pendidikan dan rumah sakit di DIY berjalan tanpa fanatisme. Terbukti dari pasien rumah sakit dan siswa sekolah sangat beragam. Ketiga, di Yogyakarta tidak ada wilayah eksklusif antarpenganut agama sehingga iklimnya mendukung," kata Amin.

Demikianlah laporan tentang program studi lintas-agama oleh ICRS Yogya, sebagaimana diberitakan Kompas. Berita itu memang sudah cukup lama. Tapi, sepertinya kurang mendapat perhatian serius dari berbagai kalangan, khususnya kaum Muslim di Yogya. Beberapa kali saya ke Yogyakarta tidak mendengar informasi yang serius tentang masalah ini. Padahal, pembukaan program studi lintas agama ini merupakan gebrakan besar dalam studi agama-agama di Indonesia.

Untuk itu, ada baiknya, kita menelaah tujuan dan latar belakang serta visi dan misi studi lintas agama tingkat doktoral di Yogyakarta yang melibatkan tiga kampus tersebut, berdasarkan pada brosur dan website konsorsium (www.icrsyogya.net).

Menurut pengelolanya, program studi agama-agama oleh ICRS ini barangkali merupakan yang pertama di dunia, yang disponsori oleh institusi Islam (UIN), Kristen (UKDW), dan sekuler (UGM). Pada banyak negara, program seperti ini tidak pernah terpikirkan. Karena itu, momentum pendirian program ini adalah peristiwa bersejarah bagi Indonesia. Rencananya, program ini juga menjalin kerjasama dengan berbagai kampus di dunia.

Dijelaskan, bahwa keistimewaan dari program ICRS Yogya ini adalah studi tentang agama-agama Indonesia, khususnya Islam Indonesia. (The primary strength of ICRS-Yogya is the study of Indonesian religions, especially Indonesian Islam). ICRS Yogya juga memiliki sumber-sumber yang kuat tentang studi Kristen Indonesia, dan juga menyediakan fasilitas untuk melakukan studi tentang Hindu, Budha, agama-agama China, dan juga agama-agama lokal. (ICRS-Yogya also has strong resources for the study of Indonesian Christianity, and can facilitate study of Balinese Hinduism, Indonesian Buddhism, Indonesian Chinese religions and indigenous local religions).

Ada yang menarik dari paparan ICRS tentang studi agama-agama tersebut. Mereka menggunakan istilah ”Indonesian religions” (”agama-agama Indonesia”), juga istilah “Indonesian Islam” (Islam Indonesia). Begitu juga istilah ”Indonesian Christianity”, “Balinese Hinduism”, “Indonesian Buddhism”, dan “Indonesian Chinese religions”.

Penggunaan istilah untuk agama-agama tersebut oleh ICRS sebenarnya agak ceroboh. Untuk Islam, terutama. Jika ada istilah “Indonesian Islam” atau “Islam Indonesia”, apakah lalu ada “Islam Arab”, “Islam Amerika”, “Islam Hongkong”, “Islam Kutub Utara”, “Islam Kutub Selatan”, dan sebagainya? Tentu saja hal itu tidak ada. Islam adalah agama yang satu, di mana pun berada. Tidak berbeda antara Islam yang ada di Arab, yang di China, yang di Kutub Utara atau di Kutub Selatan. Kaum Muslim di mana pun membaca syahadat yang sama, shalat lima waktu dengan cara yang sama, haji dengan cara yang sama, berhari raya Idul Fithri 1 Syawal dan Idul Adha 10 Zulhijjah, dan sebagainya. Al-Quran-nya pun juga satu dan alam bahasa Arab. Jadi, Islam tidak mengenal perbedaan agama karena faktor lokalitas.

Istilah agama dikaitkan dengan lokalitas semacam itu bisa digunakan untuk Hindu, semisal ”Balinese Hinduism”. Sebab, kaum Hindu sendiri menerima perbedaan agama karena faktor budaya lokal tersebut. Memang kaum Hindu mengakui adanya Hindu Bali, Jawa, Hindu Malaysia, Hindu India, dan sebagainya, yang semuanya tetap sebagai agama Hindu. Dalam buku ”Semua Agama Tidak Sama”, terbitan Media Hindu (2006), disebutkan: ”Seseorang dapat mengatakan bahwa terdapat lebih banyak agama di dalam Hindu daripada di luarnya. Agama Hindu mempunyai lebih banyak Dewa dan Dewi, lebih banyak pustaka suci, lebih banyak orang suci, maharesi, dan avatara dibandingkan dengan agama-agama utama dijadikan satu.”

Dalam berbagai aspek, Kristen juga terkait dengan lokalitas. Kaum Kristen di Indonesia, sembahyang dalam bahasa Indonesia. Berbeda dengan di negara-negara lain. Bibelnya juga dicetak dalam bahasa lokal. Masing-masing sekte memiliki cara sembahyang masing-masing. Karakter dan tradisi ritual dalam Kristen, Hindu, Budha, dan juga agama-agama China itu sangat berbeda dengan Islam yang mendasarkan ritualnya kepada wahyu dan teladan (sunnah) Nabi Muhammad saw. Karakter khas Islam seperti ini harusnya diakui dalam studi agama-agama; bukan disamaratakan istilahnya seperti ICRS.

ICRS juga menggunakan istilah ”indigenous local religions” (agama-agama lokal asli). Yang dimaksud oleh ICRS sebagai agama asli adalah ”agama suku”. Kita tidak tahu, apakah yang dimaksudkan juga termasuk berbagai aliran kebatinan atau kepercayaan yang ada di Indonesia. Untuk Indonesia, istilah ”indigenous local religions” atau ”agama suku” itu bisa menimbulkan masalah. Menurut Penpres 1/1965, ada enam agama yang diakui, yaitu Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha, dan Khonghucu. Dengan istilah itu, maka aliran Gatholoco, Darmogandhul, dan sebagainya, bisa disebut sebagai “agama lokal asli”. Sebaliknya, Islam, Kristen, dan sebagainya, dikategorikan sebagai”agama asing” atau ”agama pendatang”, sehingga kaum kebatinan di Indonesia pernah menggugat, mengapa agama pendatang diakui sedangkan agama yang asli justru tidak diakui!? Hingga kini, Departemen Agama tidak mengurusi masalah aliran kepercayaan di Indonesia. Tetapi, urusannya diserahkan kepada Depdiknas. Kini, ICRS mengangkat istilah ”agama lokal asli Indonesia”.

Dalam bukunya, Islam dan Kebatinan (Jakarta: Bulan Bintang, 1977), Prof. H.M. Rasjidi menulis kesulitannya untuk mencari kata asing dari kata ”kebatinan” di Indonesia. Menurut Rasjidi, ia pernah bertanya kepada tokoh kebatinan Indonesia, Wongsonegoro SH juga pernah mengaku ditanya wartawan asing tentang istilah yang tepat untuk kebatinan. Tetapi, belum juga mendapat jawaban yang memuaskan. Sejumlah kata yang dieksplorasi Rasjidi untuk menerjemahkan kata kebatinan diantaranya adalah ’Sciences occultes’, ’mystic’, ’metaphysic’, atau ’moralist’. Tentu tidak mudah untuk menyebut semua aliran kebatinan/kepercayaan di Indonesia sebagai ’religion’, sebagaimana Islam, Yahudi, Kristen, dan sebagainya.

Program doktoral studi lintas agama ICRS ini menawarkan tiga area kajian, yaitu: (1) Cultural and Historical Studies of Religion (2) Religion, Social Theory and Contemporary Issues, dan (3) Comparative Interpretation of Sacred Texts. Disebutkan dalam brosur program ini, dalam kajian agama-agama versi ICRS Yogya, misalnya, mahasiswa akan diajak untuk mendengarkan paparan tentang berbagai sejarah agama di Indonesia ditinjau dari berbagai perspektif dan diajar oleh para dosen dari berbagai disiplin dan berbagai agama. Sebagai contoh, para mahasiswa akan mendengar sejarah agama-agama di Indonesia dari agama Hindu, Budha, Islam, Kristen, juga dari kaum yang aspirasinya terabaikan (forgotten voices) seperti “indigenous Indonesian religions (agama suku)” dan kelompok-kelompok terlarang (forbidden groups).

Karena kajian agama-agama di ICRS terutama ditujukan kepada kajian Islam, maka dengan perspektif ICRS seperti itu, kita bisa membayangkan, doktor agama macam apa yang ingin dicetak oleh ICRS. Mereka tampaknya diarahkan untuk melakukan kajian agama-agama dari sudut pandang ”netral agama”. Para calon doktor bidang agama itu diarahkan untuk tidak lagi memiliki perspektif ”iman-kafir”, ”tauhid-syirik”, ”haq-bathil”, ”sunnah-bid’ah”, dan sebagainya. Semua agama dilihat sebagai fenomena budaya, fenomena sejarah, dan pengalaman spiritual. Bahkan, kelompok-kelompok terlarang yang dinyatakan sesat oleh umat Islam, seperti Agama Salamullahnya Lie Eden akan diterima dengan tangan terbuka dalam kajian agama-agama di ICRS Yogya ini.

Adalah juga menarik untuk mencermati ’corak pemikiran’ dosen-dosen yang dipasang sebagai pengajar di program doktor lintas agama ala ICRS Yogya ini. Dari UIN Yogya ada nama Prof. Dr. M. Amin Abdullah, rektor UIN Yogya yang sudah tersohor sebagai pendukung pemikiran Nasr Hamid Abu Zayd. Ada juga Dr. Nurcholish Setiawan, murid Abu Zayd yang menerbitkan disertasinya dengan judul ”Al-Quran Kitab Sastra Terbesar”. Ada Prof. Dr. Machasin yang menerbitkan disertasinya dengan judul ”Al-Qaddi Abd al-Jabbar, Mutasyabih al-Quran: Dalih Rasionalitas Al-Qur’an.” Ada Dr. Fatimah Husein yang menulis disertasi doktor di Melboerne University tentang hubungan Islam-Kristen di Indonesia dalam perspektif Muslim Inklusif dan Muslim Eksklusif. Ada juga Dr. Sahiron Syamsuddin, yang dikenal banyak menulis tentang pemikir liberal asal Suria, Muhammad Syahrur. Lalu, ada Prof. Dr. Iskandar Zulkarnain yang disertasinya diterbitkan dengan judul ”Gerakan Amadiyah di Indonesia”.

Diantara dosen tamu yang dicadangkan memberi kuliah adalah Prof. Dr. Nasr H. Abu Zaid (Utrecht, ISIM), Prof. Dr. Abdullahi A. An Na'im, dan Dr. Khaled M Abou El Fadl (UCLA). Kita sudah kenal siapa Nasr Hamid Abu Zayd. Dia adalah pemikir asal Mesir yang dikenal dengan pendapatnya bahwa Al-Quran adalah produk budaya (muntaj tsaqafi).

Sebagai umat Muslim, kita hanya bisa mengimbau kepada para profesor dan doktor bidang keislaman yang sedang berkuasa di UIN Yogya dan UGM, agar mereka menjaga amanahnya sebagai cendekiawan dan ulama Muslim, untuk meneruskan risalah kenabian Muhammad saw dalam menjaga dan menanamkan aqidah Islam, tidak mencampur aduk antara keimanan dan kekufuran, antara tauhid dan kemusyrikan, antara haq wal bathil, sebagaimana perilaku kaum Yahudi. (QS 2:42). Sebab, Al-Quran dengan tegas menyebutkan tugas utama para nabi adalah menyerukan tauhid dan menjauhkan manusia dari tindakan syirik. (QS 16:36). Al-Quran juga menyebutkan, bahwa Allah SWT sangat murka karena dituduh punya anak. (QS 19:88-91).

Para profesor dan doktor itu mudah-mudahan paham, bahwa untuk membangun kerukunan umat beragama, tidaklah perlu dilakukan dengan mengorbankan aqidah dan keyakinan akan kebenaran Islam. Nabi Muhammad saw telah memberikan suri tauladan, bagaimana membangun kerukunan umat beragama, tanpa mengorbankan keimanan.

Kita juga mengimbau, agar para tokoh, cendekiawan, mubaligh, aktivis Islam di Yogyakarta mau memahami dan peduli dengan masalah-masalah yang berkaitan dengan pendidikan keagamaan seperti ini. Sebab, ini berkaitan dengan masalah pemikiran dan aqidah Islam. Mudah-mudahan wilayah Yogyakarta diselamatkan dari berbagai musibah dan bencana. Amin. [Depok, 15 Juni 2007, www.hidayatullah.com]

Catatan Akhir Pekan [CAP] Adian Husaini adalah hasil kerjasama antara Radio Dakta 107 FM dan www.hidayatullah.com

www.hidayatullah.com, Selasa, 19 Juni 2007

Thursday, June 7, 2007

Baasyir Belum Berfikir Menjadi Capres


Majelis Mujahidin Indonesia (MMI) mengedepankan wacana pencalonan Amir Majelis Mujahidin Ustad Abu Bakar Baasyir sebagai calon presiden independen dalam pemilu 2009.

Menanggapi itu, Amir Majelis Mujahidin Ustad Abu Bakar Baasyir menyatakan, belum memikirkan masalah itu, sebab baginya siapa yang memimpin Indonesia ke depan, yang terpentingharus mampu mengedepankan penegakan syariat.

"Saya belum berfikir tentang itu, saya kira saya tidak mempunyai kemampuan untuk itu, saya cuma bertugas menasehati, " ujarnya usai jumpa pers pembentukan Brigade Pemburu Koruptor, di Hotel Sofyan Cikini, Jakarta, Rabu (6/6).

Menurutnya, meski saat ini tokoh yang diharapkan itu belum muncul, namun ia optimis dengan jalan dakwah yang saat ini ditempuhnya, pasti Allah akan mengabulkan apa yang diinginkannya bersama umat Islam lainnya.

"Sabar saja, Allah pasti akan menurunkannya karena Islam itu pasti menang, tidak mungkin kalah, kalau belum ada tokoh yang pantas, kita harus tetap berjuang, " imbuh pemimpin Pondok Pesanteren Ngruki, Solo itu.

Baasyir menghimbau, agar umat Islam dapat bersungguh-sungguh dalam menjalankan ajaran agama yang diterapkan untuk kehidupan pribadi dan bernegara, sebab akan dipertanggungjawabkan akan langsung kepada Allah.

Ia menambahkan, kegagalan pemimpin di tanah air, disebabkan kepemimpinan mereka tidak dilandasi dengan keikhlasan, dan hanya berdasarkan kepentingan dan tujuan-tujuan pribadi.

Sementara itu, Ketua Tim Advokasi FUI Munarman menganggap Ustad Baasyir merupakan orang yang pantas memimpin negara, karena Baasyir dalah tokoh yang mampu bersikap konsisten dalam menegakan syariat Islam.

Meski demikian, Munarman menyerahkan, keputusan itu kepada Ustad Baasyir, apakah akan melanjutkan apa yang telah diwacanakan tersebut.

"Dia memang orang yang pantas, paling bersih, tapi kita lihat saja nanti, " tukasnya. (novel)

eramuslim.com, Kamis, 7 Jun 07 09:01 WIB

Tuesday, May 29, 2007

Pertemuan AS-Iran di Baghdad, Masing-Masing Pihak Ajukan Tuntutan


Pertemuan bersejarah sejak 27 tahun terakhir antara delegasi AS dengan Iran mencuatkan permintaan masing-masing pihak.

Pada Senin (28/5) kemarin AS minta agar Iran segera menghentikan bantuan persenjataan bagi para pemberontak di Irak. Sementara negeri Mullah itu menawarkan diri untuk melatih dan mempersenjatai militer Irak.

"Republik Islam Iran telah menyatakan kesiapannya untuk memberikan segala bentuk bantuan, termasuk dalam hal kerja sama dan pembekalan militer (Irak) dengan senjata dan pelatihan, " ujar Dubes Iran untuk Irak Hassan Kazemi Qomi.

Sementara rekan Qomi, Dubes AS di Baghdad Ryan Cooker dalam keterangan terkait hasil pertemuan itu menyatakan, "Pembicaraan belangsung 4 jam, dan AS bersikeras meminta agar Iran merealisasikan kata-katanya dengan kerja, yaitu dengan menghentikan sokongannya terhadap kelompok-kelompok bersenjata di Irak."

Dubes AS itu sendiri tanpa sungkan menuduh Iran telah membantu milisi-milisi yang kerap menyerang militer Irak dan AS. "Sebenarnya, banyak sekali ledakan-ledakan dan bahan peledak yang digunakan kelompok-kelompok itu dari Iran untuk Irak, " tuduh dia.

Saat ditanya sikap delegasi Iran atas tuduhan AS itu, Cooker menjelaskan bahwa Iran tidak memberikan jawaban yang jelas, dan hanya memberikan jawaban secara umum terkait dukungan Iran terhadap Irak dan Perdana menteri Nouri Al-Maliki.

"Suasana pertemuan itu tadinya untuk membicarakan kerja nyata. Kami sudah menyampaikannya. Demikian juga orang-orang Iran itu, " kata Cooker sambil menjelaskan bahwa yang diinginkan AS saat ini bukan hal-hal yang bersifat umum dan mendasar, tapi tindakan nyata.

"Kami dari cara pandang AS telah menjelaskan bahwa masalahnya berkaitan dengan dengan kerja, bukan dengan prinsip-prinsip, " katanya dengan nada kesal.

Lewat pertemuan itu, AS nampaknya mulai mengalihkan tudingan pada Iran terkait situasi keamanan di Irak yang makin memburuk, untuk menyelamatkan citra AS yang makin negatif di negeri 1001 Malam itu. Padahal aktor utama kehancuran di Irak adalah invasi AS dan sekutu-sekutunya. (ilyas/alrb)

eramuslim.com; Selasa, 29 Mei 07 10:53 WIB

Friday, May 25, 2007

Yahudi Berniat Hancurkan Perpustakan Bersejarah Palestina

Zionis-Yahudi dikabarkan berniat menghancurkan perpustakaan bersejarah Palestina. Termasuk data sejarah dan budaya Palestina, demikian kutip TV Al-Alam

Hidyatullah.com—Zionis-Yahudi mengeluarkan instruksi untuk menghancurkan perpustakaan bersejarah Palestina. Perpustakaan ini adalah sebuah lembaga yang mengumpulkan data-data sejarah dan budaya Palestina.

Menurut laporan Televisi Al-Alam dari Baitul Maqdis, para pejabat Rezim Zionis mengingatkan kepada pengelola perpustakaan Al-Anshari di jalan Saint George, Baitul Maqdis untuk mengosongkan bangunan perpustakan bersejarah itu, yang kemudian akan dihancurkan.

Fahmi Al Anshori sebagai pemilik dan pengelola perpustaakan ini ketika diwawancarai Televisi Al-Alam mengatakan, "Perpustakaan ini menyimpan berbagai buku tentang sejarah Palestina serta sejarah Arab dan Islam. Dan selama 47 tahun, lebih dari 45 ribu jilid buku dikumpulkan di perpustakaan ini.

Berdasarkan laporan tersebut, Rezim Zionis terus menekan warga Arab di kawasan Baitul Maqdis dalam rangka mengubah sejarah serta identitas Arab dan Islam kota Baitul Maqdis, sedangkan warga Zionis yang berada di kawasan lain dipindahkan ke kota tersebut.

Upaya pengubahan identitas Islam di kota Baitul Magdis kian gencar setelah rezim Zionis Israel gagal melakukan penggalian di bawah Masjid Al-Aqsha, dan rezim ini dalam penggalian tersebut sama sekali tak menemukan bukti bahwa warga Yahudi Zionis berasal dari kawasan ini.

Direktur Pusat Hukum Baitu Maqdis, Ziyad Al Hamudi, kepada Televisi Al-Alam menuturkan, "Zonis Israel begitu ngotot melakukan yudaisasi di kota Baitul Maqdis, dan sejak pendudukan atas Baitul Maqdis, mereka mengubah nama-nama tempat yang berciri Islam dan Arab di kota ini." [irib/cha/www.hidayatullah.com] Jumat, 25 Mei 2007

Wednesday, May 16, 2007

Israel Langgar Hukum Internasional, Siapa yang Peduli?


Komite International Palang Merah (ICRC) mengeluarkan sebuah laporan yang isinya menyatakan bahwa Israel telah mengabaikan kewajibannya atas Al-Quds-wilayah Palestina yang didudukinya-dan hanya memenuhi kepentingan pemukim Yahudi dengan biaya yang diambil dari warga Palestina.

Laporan tersebut sebenarnya bersifat rahasia dan bukan untuk konsumsi publik, namun berhasil diungkap oleh surat kabar The New York Times edisi Selasa (15/5).

Dalam laporan itu, ICRC juga menyatakan bahwa Israel telah mengisolasi warga Palestina di Al-Quds dari wilayah pendudukan lainnya di Tepi Barat dan dengan sengaja tidak membolehkan warga Palestina di Al-Quds untuk memiliki tempat tinggal permanen. Akibat kebijakan itu, warga Palestina tidak mendapatkan akses layanan kebutuhan dasar mereka seperti sekolah dan layanan kesehatan.

Keberadaan tembok pemisah di Tepi Barat, menurut ICRC juga ikut mempengaruhi kondisi demografi karena menutup akses ke pemukiman-pemukiman di kota itu dan memisahkan wilayah pemukiman Palestina yang sudah sejak lama ada.

Israel tetap tidak mau membongkar tembok pemisah yang akan dibuat sepanjang 900 kilometer di Tepi Barat itu, meski Pengadilan Internasional sudah mengeluarkan pernyataan bahwa tembok itu ilegal dan Dewan Umum PBB sudah memerintahkan agar Israel meruntuhkan tembok tersebut dan memberikan kompensasi bagi warga Palestina.

Sembilan bulan setelah pembangunan tembok tersebut, sekitar bulan Februari, ICRC sebenarnya sudah membuat laporan, namun laporan-laporan ICRC tentang kejahatan Israel terhadap warga Palestina tidak pernah dipublikasikan.

Menurut juru bicara ICRC Bernard Barret, laporan-laporan itu langsung diserahkan pada Israel dan ke beberapa negara saja. Ia meyakini langkah itu merupakan langkah terbaik dalam upaya menerapkan hukum internasional terkait masalah-masalah kemanusiaan.

Selewengkan Kekuasaan

Lebih lanjut dalam laporan terbarunya, ICRC menyatakan bahwa Israel telah menyalahgunakan kekuasaannya sebagai penjajah dan hanya mengambil keuntungan untuk kepentingannya sendiri atau untuk kepentingan warga Israel saja. Dengan demikian, Israel jelas telah melanggar hukum internasional terutama yang terkait dengan aturan daerah pendudukan.

ICRC menegaskan bahwa semua wilayah Palestina yang dicaplok Israel selama perang tahun 1967, termasuk wilayah Yerusalem Timur, tetap akan menjadi wilayah pendudukan di bawah hukum internasional.

Padahal, di bawah pendudukan Negara Zionis itu, kehidupan warga Palestina sangat menderita. Sejak 1967, Israel menerapkan kebijakan-kebijakan yang memaksa warga Palestina untuk keluar dari Al-Quds, termasuk kebijakan penghancuran rumah-rumah warga Palestina yang dilakukan secara sistematis.

Israel juga tidak mau mengeluarkan izin pembangunan rumah bagi warga Palestina. Warga Palestina bahkan dilarang merenovasi rumahnya, kecuali ada izin dari Israel. Faktanya warga Palestina jarang ada yang mendapatkan izin tersebut.

Israel mengeluarkan kartu identitas khusus bagi warga Palestina di Al-Quds. Tanpa kartu identitas, warga Palestina yang lain dilarang masuk ke Al-Quds. Padahal di kota itu terdapat kompleks Masjid Al-Aqsha, masjid suci ketiga bagi umat Islam sedunia.

Laporan ICRC ini merupakan fakta dan bukti kesewenang-wenangan penjajah bernama Israel. Namun dunia tetap bungkam dan tidak pernah menjatuhkan sanksi pada Israel yang nyata-nyata telah melanggar hukum internasional. (ln/iol)

eramuslim.com, Rabu, 16 Mei 07 09:36 WIB


Tuesday, May 15, 2007

Keteladanan Shalahuddin Al-Ayyubi dalam Perang Salib

Bermula dari perebutan wilayah Palestina, peperangan pasukan Kristen-Islam berlangsung sekitar 174 tahun. Bagaimana akhlaq Islam dari peristiwa ini?

Hidayatullah.com--“Pemandangan mengagumkan akan terlihat. Beberapa orang lelaki kami memenggal kepala-kepala musuh; lainnya menembaki mereka dengan panah-panah, sehingga mereka berjatuhan dari menara-menara; lainnya menyiksa mereka lebih lama dengan memasukkannya ke dalam api menyala. Tumpukan kepala, tangan, dan kaki terlihat di jalan-jalan kota. Kami berjalan di atas mayat-mayat manusia dan kuda. Tapi ini hanya masalah kecil jika dibandingkan dengan apa yang terjadi di Biara Sulaiman, tempat dimana ibadah keagamaan kini dinyanyikan kembali. Di sana, para pria berdarah-darah disuruh berlutut dan dibelenggu lehernya.”

Kisah di atas bukan skenario film yang fiktif, tapi sungguh-sungguh pernah terjadi. Itu adalah pengakuan seseorang bernama Raymond, salah satu serdadu Perang Salib I. Pengakuan ini didokumentasikan oleh August C Krey, penulis buku The First Crusade: The Accounts of Eye-Witnesses and Praticipants (Princeton and London: 1991).

Bagi kaum Muslimin, Perang Salib I (1096-1099) memang menyesakkan. Menurut catatan Krey, hanya dalam tempo dua hari, 40.000 kaum Muslimin dan Yahudi di sekitar Palestina, baik pria maupun wanita, dibantai secara massal dengan cara tak berperikemanusiaan. Cara pembantaiannya tergambar dalam pengakuan Raymond di atas.

Sepak Terjang Tentara Salib

Sejak tentara Islam yang dipimpin Khalifah Umar bin Khattab (638 M) yang berhasil membebaskan Palestina dari dari kekaisaran Byzantium (Romawi Timur) sampai abad ke-11 M, Palestina berada di bawah pemerintahan Islam dan merupakan kawasan yang tertib dan damai. Orang-orang Yahudi, Nasrani, dan Islam hidup bersama. Namun kedamaian itu seolah lenyap ditelan bumi begitu Tentara Salib datang melakukan invasi.

Ceritanya bermula ketika orang-orang kekhalifahan Turki Utsmani merebut Anatolia (Asia Kecil, sekarang termasuk wilayah Turki) dari kekuasaan Raja Byzantium, Alexius I. Raja ini kemudian minta tolong kepada Paus Urbanus II, guna merebut kembali wilayah itu dari cengkeraman kaum yang mereka sebut “orang kafir”.

Paus Urbanus II segera memutuskan untuk mengadakan ekspedisi besar-besaran yang ambisius (27 November 1095). Tekad itu makin membara setelah Paus menerima laporan bahwa Khalifah Abdul Hakim—yang menguasai Palestina saat itu—menaikkan pajak ziarah ke Palestina bagi orang-orang Kristen Eropa. “Ini perampokan! Oleh karena itu, tanah suci Palestina harus direbut kembali,” kata Paus.

Perang melawan kaum Muslimin diumumkan secara resmi pada tahun 1096 oleh Takhta Suci Roma. Paus juga mengirim surat ke semua raja di seluruh Eropa untuk ikut serta. Mereka dijanjikan kejayaan, kesejahteraan, emas, dan tanah di Palestina, serta surga bagi para ksatria yang mau berperang.

Paus juga meminta anggota Konsili Clermont di Prancis Selatan—terdiri atas para uskup, kepala biara, bangsawan, ksatria, dan rakyat sipil—untuk memberikan bantuan. Paus menyerukan agar bangsa Eropa yang bertikai segera bersatu padu untuk mengambil alih tanah suci Palestina. Hadirin menjawab dengan antusias, “Deus Vult!” (Tuhan menghendakinya!)

Dari pertemuan terbuka itu ditetapkan juga bahwa mereka akan pergi perang dengan memakai salib di pundak dan baju. Dari sinilah bermula sebutan Perang Salib (Crusade). Paus sendiri menyatakan ekspedisi ini sebagai “Perang Demi Salib” untuk merebut tanah suci.

Mobilisasi massa Paus menghasilkan sekitar 100.000 serdadu siap tempur. Anak-anak muda, bangsawan, petani, kaya dan miskin memenuhi panggilan Paus. Peter The Hermit dan Walter memimpin kaum miskin dan petani. Namun mereka dihancurkan oleh Pasukan Turki suku Seljuk di medan pertempuran Anatolia ketika perjalanan menuju Baitul Maqdis (Yerusalem).

Tentara Salib yang utama berasal dari Prancis, Jerman, dan Normandia (Prancis Selatan). Mereka dikomandani oleh Godfrey dan Raymond (dari Prancis), Bohemond dan Tancred (keduanya orang Normandia), dan Robert Baldwin dari Flanders (Belgia). Pasukan ini berhasil menaklukkan kaum Muslimin di medan perang Antakiyah (Antiokia, Suriah) pada tanggal 3 Juni 1098.

Sepanjang perjalanan menuju Palestina, Tentara Salib membantai orang-orang Islam. Tentara Jerman juga membunuhi orang-orang Yahudi. Rombongan besar ini akhirnya sampai di Baitul Maqdis pada tahun 1099. Mereka langsung melancarkan pengepungan, dan tak lupa melakukan pembantaian. Sekitar lima minggu kemudian, tepatnya 15 Juli 1099, mereka berhasil merebut Baitul Maqdis dari tangan kaum Muslimin. Kota ini akhirnya dijadikan ibukota Kerajaan Katolik yang terbentang dari Palestina hingga Antakiyah. .

Teladan Shalahuddin Al-Ayyubi

Pada tahun 1145-1147 berlangsung Perang Salib II. Namun pada peperangan ini tidak terjadi pertempuran berarti karena ekspedisi perang tentara Eropa yang dipimpin oleh Raja Louis VII dari Perancis gagal mencapai Palestina. Mereka tertahan di Iskandariyah lalu kembali ke negara asalnya.

Perang besar-besaran baru terjadi sekitar empat dasawarsa berikutnya pada Perang Salib III (1187-1191). Pada masa itu, Kekhalifahan Islam terpecah menjadi dua, yaitu Dinasti Fathimiyah di Kairo (bermazhab Syi’ah) dan Dinasti Seljuk yang berpusat di Turki (bermazhab Sunni). Kondisi ini membuat Shalahuddin Al-Ayyubi, panglima perang Dinasti Fathimiyah, merasa prihatin. Menurutnya, Islam harus bersatu untuk melawan Eropa-Kristen yang juga bahu-membahu.

Melalui serangkaian lobi, akhirnya Shalahuddin Al-Ayyubi berhasil menyatukan kedua kubu dengan damai. Pekerjaan pertama selesai. Shalahuddin kini dihadapkan pada perilaku kaum Muslimin yang tampak loyo dan tak punya semangat jihad. Mereka dihinggapi penyakit wahn (cinta dunia dan takut mati). Spirit perjuangan yang pernah dimiliki tokoh-tokoh terdahulu tak lagi membekas di hati.

Shalahuddin lantas menggagas sebuah festival yang diberi nama peringatan Maulid Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam. Tujuannya untuk menumbuhkan dan membangkitkan spirit perjuangan. Di festival ini dikaji habis-habisan sirah nabawiyah (sejarah nabi) dan atsar (perkataan) sahabat, terutama yang berkaitan dengan nilai-nilai jihad.

Festival ini berlangsung dua bulan berturut-turut. Hasilnya luar biasa. Banyak pemuda Muslim yang mendaftar untuk berjihad membebaskan Palestina. Mereka pun siap mengikuti pendidikan kemiliteran.

Shalahuddin berhasil menghimpun pasukan yang terdiri atas para pemuda dari berbagai negeri Islam. Pasukan ini kemudian berhasil mengalahkan Pasukan Salib di Hittin (dekat Acre, kini dikuasai Israel) pada 4 Juli 1187. Pasukan Kristen bahkan akhirnya terdesak dan terkurung di Baitul Maqdis.

Dua pemimpin tentara Perang Salib, Reynald dari Chatillon (Prancis) dan Raja Guy, dibawa ke hadapan Shalahuddin. Reynald akhirnya dijatuhi hukuman mati karena terbukti memimpin pembantaian yang sangat keji kepada orang-orang Islam. Namun Raja Guy dibebaskan karena tidak melakukan kekejaman yang serupa.

Tiga bulan setelah pertempuran Hittin, pada hari yang tepat sama ketika Nabi Muhammad diperjalankan dari Mekah ke Yerusalem dalam Isra’ Mi’raj (bertepatan 2 Oktober 1187), pasukan Shalahuddin memasuki Baitul Maqdis. Kawasan ini akhirnya bisa direbut kembali oleh pasukan Islam setelah 88 tahun berada dalam cengkeraman musuh.

Sejarawan Inggris, Karen Armstrong, menggambarkan, pada tanggal 2 Oktober 1187 itu, Shalahuddin dan tentaranya memasuki Baitul Maqdis sebagai penakluk yang berpegang teguh pada ajaran Islam yang mulia. Tidak ada dendam untuk membalas pembantaian tahun 1099, seperti yang dianjurkan Al-Qur`an dalam surat An-Nahl ayat 127: “Bersabarlah (hai Muhammad) dan tiadalah kesabaran itu melainkan dengan pertolongan Allah dan janganlah kamu bersedih hati terhadap (kekafiran) mereka dan janganlah kamu bersempit dada terhadap apa yang mereka tipu dayakan.

Permusuhan dihentikan dan Shalahuddin menghentikan pembunuhan. Ini sesuai dengan firman dalam Al-Qur`an: “Dan perangilah mereka sehingga tidak ada fitnah lagi dan agama itu hanya untuk Allah. Jika mereka berhenti (memusuhi kamu), maka tidak ada permusuhan lagi, kecuali terhadap orang-orang yang zhalim.” (Al-Baqarah: 193)

Tak ada satu orang Kristen pun yang dibunuh dan tidak ada perampasan. Jumlah tebusan pun disengaja sangat rendah. Shalahuddin bahkan menangis tersedu-sedu karena keadaan mengenaskan keluarga-keluarga yang hancur terpecah-belah. Ia membebaskan banyak tawanan, meskipun menyebabkan keputusasaan bendaharawan negaranya yang telah lama menderita. Saudara lelakinya, Al-Malik Al-Adil bin Ayyub, juga sedih melihat penderitaan para tawanan sehingga dia meminta Salahuddin untuk membawa seribu orang di antara mereka dan membebaskannya saat itu juga.

Beberapa pemimpin Muslim sempat tersinggung karena orang-orang Kristen kaya melarikan diri dengan membawa harta benda, yang sebenarnya bisa digunakan untuk menebus semua tawanan. [Uskup] Heraclius membayar tebusan dirinya sebesar sepuluh dinar seperti halnya tawanan lain, dan bahkan diberi pengawal pribadi untuk mempertahankan keselamatan harta bendanya selama perjalanan ke Tyre (Libanon).

Shalahuddin meminta agar semua orang Nasrani Latin (Katolik) meninggalkan Baitul Maqdis. Sementara kalangan Nasrani Ortodoks--bukan bagian dari Tentara Salib—tetap dibiarkan tinggal dan beribadah di kawasan itu.

Kemenangan tentara Islam yang dipimpin Shalahuddin membuat marah dunia Kristen. Mereka kemudian mengirimkan pasukan gabungan Eropa yang dipimpin Raja Perancis Phillip Augustus, Kaisar Jerman Frederick Barbarossa dan Raja Inggris Richard “Si Hati Singa” (the Lion Heart).

Pada masa ini pertempuran berlangsung sengit. Pada tahun 1194, Richard yang digambarkan sebagai seorang pahlawan dalam sejarah Inggris, memerintahkan untuk menghukum mati 3000 orang Islam, yang kebanyakan di antaranya wanita-wanita dan anak-anak. Tragedi ini berlangsung di Kastil Acre.

Suatu hari, Richard sakit keras. Mendengar kabar itu, Shalahuddin secara sembunyi-sembunyi berusaha mendatanginya. Ia mengendap-endap ke tenda Richard. Begitu tiba, bukannya membunuh, malah dengan ilmu kedokteran yang hebat Shalahudin mengobati Richard hingga akhirnya sembuh.

Richard terkesan dengan kebesaran hati Shalahuddin. Ia pun menawarkan damai dan berjanji akan menarik mundur pasukan Kristen pulang ke Eropa. Mereka pun menandatangani perjanjian damai (1197). Dalam perjanjian itu, Shalahuddin membebaskan orang Kristen untuk mengunjungi Palestina, asal mereka datang dengan damai dan tidak membawa senjata. Selama delapan abad berikutnya, Palestina berada di bawah kendali kaum Muslimin.

***

Perang Salib IV berlangsung tahun 1202-1204. Bukan antara Islam dan Kristen, melainkan antara Takhta Suci Katolik Roma dengan Takhta Kristen Ortodoks Romawi Timur di Konstantinopel (sekarang Istambul, Turki).

Pada Perang Salib V berlangsung tahun 1218-1221. Orang-orang Kristen yang sudah bersatu berusaha menaklukkan Mesir yang merupakan pintu masuk ke Palestina. Tapi upaya ini gagal total.

Kaisar Jerman, Frederick II (1194-1250), mengobarkan Perang Salib VI (1228), tapi tanpa pertempuran yang berarti. Ia lebih memilih berdialog dengan Sultan Mesir, Malik Al-Kamil, yang juga keponakan Shalahuddin. Dicapailah Kesepakatan Jaffa. Isinya, Baitul Maqdis tetap dikuasai oleh Muslim, tapi Betlehem (kota kelahiran Nabi Isa ‘alaihis-salaam) dan Nazareth (kota tempat Nabi Isa dibesarkan) dikuasai orang Eropa-Kristen.

Dua Perang Salib VII (1248-1254) dan Perang Salib VIII (1270) dikobarkan oleh Raja Perancis, Louis IX (1215-1270). Tahun 1248 Louis menyerbu Mesir tapi gagal dan ia menjadi tawanan. Perancis harus menyerahkan emas yang sangat banyak untuk menebusnya.

Tahun 1270 Louis mencoba membalas kekalahan itu dengan menyerang Tunisia. Namun pasukannya berhasil dikalahkan Sultan Dinasti Mamaluk, Bibars. Louis meninggal di medan perang.

Sampai di sini periode Perang Salib berakhir. Namun, beberapa sejarawan Katholik menganggap bahwa penaklukan Konstantinopel (ibukota Byzantium, Romawi Timur) oleh Sultan Muhammad II Al-Fatih dari Turki (1453) juga sebagai Perang Salib. Penaklukan Andalusia, kawasan Spanyol Selatan yang diperintah dinasti Bani Ummayyah, oleh Raja Ferdinand dan Ratu Isabella (1492), juga dianggap Perang Salib.* [Agung Pribadi, Pambudi. Dikutip dari Majalah Hidayatullah/www.hidayatullah.com]

Bermula dari perebutan wilayah Palestina, peperangan pasukan Kristen-Islam berlangsung sekitar 174 tahun. Bagaimana akhlaq Islam dari peristiwa ini?

Hidayatullah.com--“Pemandangan mengagumkan akan terlihat. Beberapa orang lelaki kami memenggal kepala-kepala musuh; lainnya menembaki mereka dengan panah-panah, sehingga mereka berjatuhan dari menara-menara; lainnya menyiksa mereka lebih lama dengan memasukkannya ke dalam api menyala. Tumpukan kepala, tangan, dan kaki terlihat di jalan-jalan kota. Kami berjalan di atas mayat-mayat manusia dan kuda. Tapi ini hanya masalah kecil jika dibandingkan dengan apa yang terjadi di Biara Sulaiman, tempat dimana ibadah keagamaan kini dinyanyikan kembali. Di sana, para pria berdarah-darah disuruh berlutut dan dibelenggu lehernya.”

Kisah di atas bukan skenario film yang fiktif, tapi sungguh-sungguh pernah terjadi. Itu adalah pengakuan seseorang bernama Raymond, salah satu serdadu Perang Salib I. Pengakuan ini didokumentasikan oleh August C Krey, penulis buku The First Crusade: The Accounts of Eye-Witnesses and Praticipants (Princeton and London: 1991).

Bagi kaum Muslimin, Perang Salib I (1096-1099) memang menyesakkan. Menurut catatan Krey, hanya dalam tempo dua hari, 40.000 kaum Muslimin dan Yahudi di sekitar Palestina, baik pria maupun wanita, dibantai secara massal dengan cara tak berperikemanusiaan. Cara pembantaiannya tergambar dalam pengakuan Raymond di atas.

Sepak Terjang Tentara Salib

Sejak tentara Islam yang dipimpin Khalifah Umar bin Khattab (638 M) yang berhasil membebaskan Palestina dari dari kekaisaran Byzantium (Romawi Timur) sampai abad ke-11 M, Palestina berada di bawah pemerintahan Islam dan merupakan kawasan yang tertib dan damai. Orang-orang Yahudi, Nasrani, dan Islam hidup bersama. Namun kedamaian itu seolah lenyap ditelan bumi begitu Tentara Salib datang melakukan invasi.

Ceritanya bermula ketika orang-orang kekhalifahan Turki Utsmani merebut Anatolia (Asia Kecil, sekarang termasuk wilayah Turki) dari kekuasaan Raja Byzantium, Alexius I. Raja ini kemudian minta tolong kepada Paus Urbanus II, guna merebut kembali wilayah itu dari cengkeraman kaum yang mereka sebut “orang kafir”.

Paus Urbanus II segera memutuskan untuk mengadakan ekspedisi besar-besaran yang ambisius (27 November 1095). Tekad itu makin membara setelah Paus menerima laporan bahwa Khalifah Abdul Hakim—yang menguasai Palestina saat itu—menaikkan pajak ziarah ke Palestina bagi orang-orang Kristen Eropa. “Ini perampokan! Oleh karena itu, tanah suci Palestina harus direbut kembali,” kata Paus.

Perang melawan kaum Muslimin diumumkan secara resmi pada tahun 1096 oleh Takhta Suci Roma. Paus juga mengirim surat ke semua raja di seluruh Eropa untuk ikut serta. Mereka dijanjikan kejayaan, kesejahteraan, emas, dan tanah di Palestina, serta surga bagi para ksatria yang mau berperang.

Paus juga meminta anggota Konsili Clermont di Prancis Selatan—terdiri atas para uskup, kepala biara, bangsawan, ksatria, dan rakyat sipil—untuk memberikan bantuan. Paus menyerukan agar bangsa Eropa yang bertikai segera bersatu padu untuk mengambil alih tanah suci Palestina. Hadirin menjawab dengan antusias, “Deus Vult!” (Tuhan menghendakinya!)

Dari pertemuan terbuka itu ditetapkan juga bahwa mereka akan pergi perang dengan memakai salib di pundak dan baju. Dari sinilah bermula sebutan Perang Salib (Crusade). Paus sendiri menyatakan ekspedisi ini sebagai “Perang Demi Salib” untuk merebut tanah suci.

Mobilisasi massa Paus menghasilkan sekitar 100.000 serdadu siap tempur. Anak-anak muda, bangsawan, petani, kaya dan miskin memenuhi panggilan Paus. Peter The Hermit dan Walter memimpin kaum miskin dan petani. Namun mereka dihancurkan oleh Pasukan Turki suku Seljuk di medan pertempuran Anatolia ketika perjalanan menuju Baitul Maqdis (Yerusalem).

Tentara Salib yang utama berasal dari Prancis, Jerman, dan Normandia (Prancis Selatan). Mereka dikomandani oleh Godfrey dan Raymond (dari Prancis), Bohemond dan Tancred (keduanya orang Normandia), dan Robert Baldwin dari Flanders (Belgia). Pasukan ini berhasil menaklukkan kaum Muslimin di medan perang Antakiyah (Antiokia, Suriah) pada tanggal 3 Juni 1098.

Sepanjang perjalanan menuju Palestina, Tentara Salib membantai orang-orang Islam. Tentara Jerman juga membunuhi orang-orang Yahudi. Rombongan besar ini akhirnya sampai di Baitul Maqdis pada tahun 1099. Mereka langsung melancarkan pengepungan, dan tak lupa melakukan pembantaian. Sekitar lima minggu kemudian, tepatnya 15 Juli 1099, mereka berhasil merebut Baitul Maqdis dari tangan kaum Muslimin. Kota ini akhirnya dijadikan ibukota Kerajaan Katolik yang terbentang dari Palestina hingga Antakiyah. .

Teladan Shalahuddin Al-Ayyubi

Pada tahun 1145-1147 berlangsung Perang Salib II. Namun pada peperangan ini tidak terjadi pertempuran berarti karena ekspedisi perang tentara Eropa yang dipimpin oleh Raja Louis VII dari Perancis gagal mencapai Palestina. Mereka tertahan di Iskandariyah lalu kembali ke negara asalnya.

Perang besar-besaran baru terjadi sekitar empat dasawarsa berikutnya pada Perang Salib III (1187-1191). Pada masa itu, Kekhalifahan Islam terpecah menjadi dua, yaitu Dinasti Fathimiyah di Kairo (bermazhab Syi’ah) dan Dinasti Seljuk yang berpusat di Turki (bermazhab Sunni). Kondisi ini membuat Shalahuddin Al-Ayyubi, panglima perang Dinasti Fathimiyah, merasa prihatin. Menurutnya, Islam harus bersatu untuk melawan Eropa-Kristen yang juga bahu-membahu.

Melalui serangkaian lobi, akhirnya Shalahuddin Al-Ayyubi berhasil menyatukan kedua kubu dengan damai. Pekerjaan pertama selesai. Shalahuddin kini dihadapkan pada perilaku kaum Muslimin yang tampak loyo dan tak punya semangat jihad. Mereka dihinggapi penyakit wahn (cinta dunia dan takut mati). Spirit perjuangan yang pernah dimiliki tokoh-tokoh terdahulu tak lagi membekas di hati.

Shalahuddin lantas menggagas sebuah festival yang diberi nama peringatan Maulid Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam. Tujuannya untuk menumbuhkan dan membangkitkan spirit perjuangan. Di festival ini dikaji habis-habisan sirah nabawiyah (sejarah nabi) dan atsar (perkataan) sahabat, terutama yang berkaitan dengan nilai-nilai jihad.

Festival ini berlangsung dua bulan berturut-turut. Hasilnya luar biasa. Banyak pemuda Muslim yang mendaftar untuk berjihad membebaskan Palestina. Mereka pun siap mengikuti pendidikan kemiliteran.

Shalahuddin berhasil menghimpun pasukan yang terdiri atas para pemuda dari berbagai negeri Islam. Pasukan ini kemudian berhasil mengalahkan Pasukan Salib di Hittin (dekat Acre, kini dikuasai Israel) pada 4 Juli 1187. Pasukan Kristen bahkan akhirnya terdesak dan terkurung di Baitul Maqdis.

Dua pemimpin tentara Perang Salib, Reynald dari Chatillon (Prancis) dan Raja Guy, dibawa ke hadapan Shalahuddin. Reynald akhirnya dijatuhi hukuman mati karena terbukti memimpin pembantaian yang sangat keji kepada orang-orang Islam. Namun Raja Guy dibebaskan karena tidak melakukan kekejaman yang serupa.

Tiga bulan setelah pertempuran Hittin, pada hari yang tepat sama ketika Nabi Muhammad diperjalankan dari Mekah ke Yerusalem dalam Isra’ Mi’raj (bertepatan 2 Oktober 1187), pasukan Shalahuddin memasuki Baitul Maqdis. Kawasan ini akhirnya bisa direbut kembali oleh pasukan Islam setelah 88 tahun berada dalam cengkeraman musuh.

Sejarawan Inggris, Karen Armstrong, menggambarkan, pada tanggal 2 Oktober 1187 itu, Shalahuddin dan tentaranya memasuki Baitul Maqdis sebagai penakluk yang berpegang teguh pada ajaran Islam yang mulia. Tidak ada dendam untuk membalas pembantaian tahun 1099, seperti yang dianjurkan Al-Qur`an dalam surat An-Nahl ayat 127: “Bersabarlah (hai Muhammad) dan tiadalah kesabaran itu melainkan dengan pertolongan Allah dan janganlah kamu bersedih hati terhadap (kekafiran) mereka dan janganlah kamu bersempit dada terhadap apa yang mereka tipu dayakan.

Permusuhan dihentikan dan Shalahuddin menghentikan pembunuhan. Ini sesuai dengan firman dalam Al-Qur`an: “Dan perangilah mereka sehingga tidak ada fitnah lagi dan agama itu hanya untuk Allah. Jika mereka berhenti (memusuhi kamu), maka tidak ada permusuhan lagi, kecuali terhadap orang-orang yang zhalim.” (Al-Baqarah: 193)

Tak ada satu orang Kristen pun yang dibunuh dan tidak ada perampasan. Jumlah tebusan pun disengaja sangat rendah. Shalahuddin bahkan menangis tersedu-sedu karena keadaan mengenaskan keluarga-keluarga yang hancur terpecah-belah. Ia membebaskan banyak tawanan, meskipun menyebabkan keputusasaan bendaharawan negaranya yang telah lama menderita. Saudara lelakinya, Al-Malik Al-Adil bin Ayyub, juga sedih melihat penderitaan para tawanan sehingga dia meminta Salahuddin untuk membawa seribu orang di antara mereka dan membebaskannya saat itu juga.

Beberapa pemimpin Muslim sempat tersinggung karena orang-orang Kristen kaya melarikan diri dengan membawa harta benda, yang sebenarnya bisa digunakan untuk menebus semua tawanan. [Uskup] Heraclius membayar tebusan dirinya sebesar sepuluh dinar seperti halnya tawanan lain, dan bahkan diberi pengawal pribadi untuk mempertahankan keselamatan harta bendanya selama perjalanan ke Tyre (Libanon).

Shalahuddin meminta agar semua orang Nasrani Latin (Katolik) meninggalkan Baitul Maqdis. Sementara kalangan Nasrani Ortodoks--bukan bagian dari Tentara Salib—tetap dibiarkan tinggal dan beribadah di kawasan itu.

Kemenangan tentara Islam yang dipimpin Shalahuddin membuat marah dunia Kristen. Mereka kemudian mengirimkan pasukan gabungan Eropa yang dipimpin Raja Perancis Phillip Augustus, Kaisar Jerman Frederick Barbarossa dan Raja Inggris Richard “Si Hati Singa” (the Lion Heart).

Pada masa ini pertempuran berlangsung sengit. Pada tahun 1194, Richard yang digambarkan sebagai seorang pahlawan dalam sejarah Inggris, memerintahkan untuk menghukum mati 3000 orang Islam, yang kebanyakan di antaranya wanita-wanita dan anak-anak. Tragedi ini berlangsung di Kastil Acre.

Suatu hari, Richard sakit keras. Mendengar kabar itu, Shalahuddin secara sembunyi-sembunyi berusaha mendatanginya. Ia mengendap-endap ke tenda Richard. Begitu tiba, bukannya membunuh, malah dengan ilmu kedokteran yang hebat Shalahudin mengobati Richard hingga akhirnya sembuh.

Richard terkesan dengan kebesaran hati Shalahuddin. Ia pun menawarkan damai dan berjanji akan menarik mundur pasukan Kristen pulang ke Eropa. Mereka pun menandatangani perjanjian damai (1197). Dalam perjanjian itu, Shalahuddin membebaskan orang Kristen untuk mengunjungi Palestina, asal mereka datang dengan damai dan tidak membawa senjata. Selama delapan abad berikutnya, Palestina berada di bawah kendali kaum Muslimin.

***

Perang Salib IV berlangsung tahun 1202-1204. Bukan antara Islam dan Kristen, melainkan antara Takhta Suci Katolik Roma dengan Takhta Kristen Ortodoks Romawi Timur di Konstantinopel (sekarang Istambul, Turki).

Pada Perang Salib V berlangsung tahun 1218-1221. Orang-orang Kristen yang sudah bersatu berusaha menaklukkan Mesir yang merupakan pintu masuk ke Palestina. Tapi upaya ini gagal total.

Kaisar Jerman, Frederick II (1194-1250), mengobarkan Perang Salib VI (1228), tapi tanpa pertempuran yang berarti. Ia lebih memilih berdialog dengan Sultan Mesir, Malik Al-Kamil, yang juga keponakan Shalahuddin. Dicapailah Kesepakatan Jaffa. Isinya, Baitul Maqdis tetap dikuasai oleh Muslim, tapi Betlehem (kota kelahiran Nabi Isa ‘alaihis-salaam) dan Nazareth (kota tempat Nabi Isa dibesarkan) dikuasai orang Eropa-Kristen.

Dua Perang Salib VII (1248-1254) dan Perang Salib VIII (1270) dikobarkan oleh Raja Perancis, Louis IX (1215-1270). Tahun 1248 Louis menyerbu Mesir tapi gagal dan ia menjadi tawanan. Perancis harus menyerahkan emas yang sangat banyak untuk menebusnya.

Tahun 1270 Louis mencoba membalas kekalahan itu dengan menyerang Tunisia. Namun pasukannya berhasil dikalahkan Sultan Dinasti Mamaluk, Bibars. Louis meninggal di medan perang.

Sampai di sini periode Perang Salib berakhir. Namun, beberapa sejarawan Katholik menganggap bahwa penaklukan Konstantinopel (ibukota Byzantium, Romawi Timur) oleh Sultan Muhammad II Al-Fatih dari Turki (1453) juga sebagai Perang Salib. Penaklukan Andalusia, kawasan Spanyol Selatan yang diperintah dinasti Bani Ummayyah, oleh Raja Ferdinand dan Ratu Isabella (1492), juga dianggap Perang Salib.* [Agung Pribadi, Pambudi. Dikutip dari Majalah Hidayatullah/www.hidayatullah.com]

Bermula dari perebutan wilayah Palestina, peperangan pasukan Kristen-Islam berlangsung sekitar 174 tahun. Bagaimana akhlaq Islam dari peristiwa ini?

Hidayatullah.com--“Pemandangan mengagumkan akan terlihat. Beberapa orang lelaki kami memenggal kepala-kepala musuh; lainnya menembaki mereka dengan panah-panah, sehingga mereka berjatuhan dari menara-menara; lainnya menyiksa mereka lebih lama dengan memasukkannya ke dalam api menyala. Tumpukan kepala, tangan, dan kaki terlihat di jalan-jalan kota. Kami berjalan di atas mayat-mayat manusia dan kuda. Tapi ini hanya masalah kecil jika dibandingkan dengan apa yang terjadi di Biara Sulaiman, tempat dimana ibadah keagamaan kini dinyanyikan kembali. Di sana, para pria berdarah-darah disuruh berlutut dan dibelenggu lehernya.”

Kisah di atas bukan skenario film yang fiktif, tapi sungguh-sungguh pernah terjadi. Itu adalah pengakuan seseorang bernama Raymond, salah satu serdadu Perang Salib I. Pengakuan ini didokumentasikan oleh August C Krey, penulis buku The First Crusade: The Accounts of Eye-Witnesses and Praticipants (Princeton and London: 1991).

Bagi kaum Muslimin, Perang Salib I (1096-1099) memang menyesakkan. Menurut catatan Krey, hanya dalam tempo dua hari, 40.000 kaum Muslimin dan Yahudi di sekitar Palestina, baik pria maupun wanita, dibantai secara massal dengan cara tak berperikemanusiaan. Cara pembantaiannya tergambar dalam pengakuan Raymond di atas.

Sepak Terjang Tentara Salib

Sejak tentara Islam yang dipimpin Khalifah Umar bin Khattab (638 M) yang berhasil membebaskan Palestina dari dari kekaisaran Byzantium (Romawi Timur) sampai abad ke-11 M, Palestina berada di bawah pemerintahan Islam dan merupakan kawasan yang tertib dan damai. Orang-orang Yahudi, Nasrani, dan Islam hidup bersama. Namun kedamaian itu seolah lenyap ditelan bumi begitu Tentara Salib datang melakukan invasi.

Ceritanya bermula ketika orang-orang kekhalifahan Turki Utsmani merebut Anatolia (Asia Kecil, sekarang termasuk wilayah Turki) dari kekuasaan Raja Byzantium, Alexius I. Raja ini kemudian minta tolong kepada Paus Urbanus II, guna merebut kembali wilayah itu dari cengkeraman kaum yang mereka sebut “orang kafir”.

Paus Urbanus II segera memutuskan untuk mengadakan ekspedisi besar-besaran yang ambisius (27 November 1095). Tekad itu makin membara setelah Paus menerima laporan bahwa Khalifah Abdul Hakim—yang menguasai Palestina saat itu—menaikkan pajak ziarah ke Palestina bagi orang-orang Kristen Eropa. “Ini perampokan! Oleh karena itu, tanah suci Palestina harus direbut kembali,” kata Paus.

Perang melawan kaum Muslimin diumumkan secara resmi pada tahun 1096 oleh Takhta Suci Roma. Paus juga mengirim surat ke semua raja di seluruh Eropa untuk ikut serta. Mereka dijanjikan kejayaan, kesejahteraan, emas, dan tanah di Palestina, serta surga bagi para ksatria yang mau berperang.

Paus juga meminta anggota Konsili Clermont di Prancis Selatan—terdiri atas para uskup, kepala biara, bangsawan, ksatria, dan rakyat sipil—untuk memberikan bantuan. Paus menyerukan agar bangsa Eropa yang bertikai segera bersatu padu untuk mengambil alih tanah suci Palestina. Hadirin menjawab dengan antusias, “Deus Vult!” (Tuhan menghendakinya!)

Dari pertemuan terbuka itu ditetapkan juga bahwa mereka akan pergi perang dengan memakai salib di pundak dan baju. Dari sinilah bermula sebutan Perang Salib (Crusade). Paus sendiri menyatakan ekspedisi ini sebagai “Perang Demi Salib” untuk merebut tanah suci.

Mobilisasi massa Paus menghasilkan sekitar 100.000 serdadu siap tempur. Anak-anak muda, bangsawan, petani, kaya dan miskin memenuhi panggilan Paus. Peter The Hermit dan Walter memimpin kaum miskin dan petani. Namun mereka dihancurkan oleh Pasukan Turki suku Seljuk di medan pertempuran Anatolia ketika perjalanan menuju Baitul Maqdis (Yerusalem).

Tentara Salib yang utama berasal dari Prancis, Jerman, dan Normandia (Prancis Selatan). Mereka dikomandani oleh Godfrey dan Raymond (dari Prancis), Bohemond dan Tancred (keduanya orang Normandia), dan Robert Baldwin dari Flanders (Belgia). Pasukan ini berhasil menaklukkan kaum Muslimin di medan perang Antakiyah (Antiokia, Suriah) pada tanggal 3 Juni 1098.

Sepanjang perjalanan menuju Palestina, Tentara Salib membantai orang-orang Islam. Tentara Jerman juga membunuhi orang-orang Yahudi. Rombongan besar ini akhirnya sampai di Baitul Maqdis pada tahun 1099. Mereka langsung melancarkan pengepungan, dan tak lupa melakukan pembantaian. Sekitar lima minggu kemudian, tepatnya 15 Juli 1099, mereka berhasil merebut Baitul Maqdis dari tangan kaum Muslimin. Kota ini akhirnya dijadikan ibukota Kerajaan Katolik yang terbentang dari Palestina hingga Antakiyah. .

Teladan Shalahuddin Al-Ayyubi

Pada tahun 1145-1147 berlangsung Perang Salib II. Namun pada peperangan ini tidak terjadi pertempuran berarti karena ekspedisi perang tentara Eropa yang dipimpin oleh Raja Louis VII dari Perancis gagal mencapai Palestina. Mereka tertahan di Iskandariyah lalu kembali ke negara asalnya.

Perang besar-besaran baru terjadi sekitar empat dasawarsa berikutnya pada Perang Salib III (1187-1191). Pada masa itu, Kekhalifahan Islam terpecah menjadi dua, yaitu Dinasti Fathimiyah di Kairo (bermazhab Syi’ah) dan Dinasti Seljuk yang berpusat di Turki (bermazhab Sunni). Kondisi ini membuat Shalahuddin Al-Ayyubi, panglima perang Dinasti Fathimiyah, merasa prihatin. Menurutnya, Islam harus bersatu untuk melawan Eropa-Kristen yang juga bahu-membahu.

Melalui serangkaian lobi, akhirnya Shalahuddin Al-Ayyubi berhasil menyatukan kedua kubu dengan damai. Pekerjaan pertama selesai. Shalahuddin kini dihadapkan pada perilaku kaum Muslimin yang tampak loyo dan tak punya semangat jihad. Mereka dihinggapi penyakit wahn (cinta dunia dan takut mati). Spirit perjuangan yang pernah dimiliki tokoh-tokoh terdahulu tak lagi membekas di hati.

Shalahuddin lantas menggagas sebuah festival yang diberi nama peringatan Maulid Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam. Tujuannya untuk menumbuhkan dan membangkitkan spirit perjuangan. Di festival ini dikaji habis-habisan sirah nabawiyah (sejarah nabi) dan atsar (perkataan) sahabat, terutama yang berkaitan dengan nilai-nilai jihad.

Festival ini berlangsung dua bulan berturut-turut. Hasilnya luar biasa. Banyak pemuda Muslim yang mendaftar untuk berjihad membebaskan Palestina. Mereka pun siap mengikuti pendidikan kemiliteran.

Shalahuddin berhasil menghimpun pasukan yang terdiri atas para pemuda dari berbagai negeri Islam. Pasukan ini kemudian berhasil mengalahkan Pasukan Salib di Hittin (dekat Acre, kini dikuasai Israel) pada 4 Juli 1187. Pasukan Kristen bahkan akhirnya terdesak dan terkurung di Baitul Maqdis.

Dua pemimpin tentara Perang Salib, Reynald dari Chatillon (Prancis) dan Raja Guy, dibawa ke hadapan Shalahuddin. Reynald akhirnya dijatuhi hukuman mati karena terbukti memimpin pembantaian yang sangat keji kepada orang-orang Islam. Namun Raja Guy dibebaskan karena tidak melakukan kekejaman yang serupa.

Tiga bulan setelah pertempuran Hittin, pada hari yang tepat sama ketika Nabi Muhammad diperjalankan dari Mekah ke Yerusalem dalam Isra’ Mi’raj (bertepatan 2 Oktober 1187), pasukan Shalahuddin memasuki Baitul Maqdis. Kawasan ini akhirnya bisa direbut kembali oleh pasukan Islam setelah 88 tahun berada dalam cengkeraman musuh.

Sejarawan Inggris, Karen Armstrong, menggambarkan, pada tanggal 2 Oktober 1187 itu, Shalahuddin dan tentaranya memasuki Baitul Maqdis sebagai penakluk yang berpegang teguh pada ajaran Islam yang mulia. Tidak ada dendam untuk membalas pembantaian tahun 1099, seperti yang dianjurkan Al-Qur`an dalam surat An-Nahl ayat 127: “Bersabarlah (hai Muhammad) dan tiadalah kesabaran itu melainkan dengan pertolongan Allah dan janganlah kamu bersedih hati terhadap (kekafiran) mereka dan janganlah kamu bersempit dada terhadap apa yang mereka tipu dayakan.

Permusuhan dihentikan dan Shalahuddin menghentikan pembunuhan. Ini sesuai dengan firman dalam Al-Qur`an: “Dan perangilah mereka sehingga tidak ada fitnah lagi dan agama itu hanya untuk Allah. Jika mereka berhenti (memusuhi kamu), maka tidak ada permusuhan lagi, kecuali terhadap orang-orang yang zhalim.” (Al-Baqarah: 193)

Tak ada satu orang Kristen pun yang dibunuh dan tidak ada perampasan. Jumlah tebusan pun disengaja sangat rendah. Shalahuddin bahkan menangis tersedu-sedu karena keadaan mengenaskan keluarga-keluarga yang hancur terpecah-belah. Ia membebaskan banyak tawanan, meskipun menyebabkan keputusasaan bendaharawan negaranya yang telah lama menderita. Saudara lelakinya, Al-Malik Al-Adil bin Ayyub, juga sedih melihat penderitaan para tawanan sehingga dia meminta Salahuddin untuk membawa seribu orang di antara mereka dan membebaskannya saat itu juga.

Beberapa pemimpin Muslim sempat tersinggung karena orang-orang Kristen kaya melarikan diri dengan membawa harta benda, yang sebenarnya bisa digunakan untuk menebus semua tawanan. [Uskup] Heraclius membayar tebusan dirinya sebesar sepuluh dinar seperti halnya tawanan lain, dan bahkan diberi pengawal pribadi untuk mempertahankan keselamatan harta bendanya selama perjalanan ke Tyre (Libanon).

Shalahuddin meminta agar semua orang Nasrani Latin (Katolik) meninggalkan Baitul Maqdis. Sementara kalangan Nasrani Ortodoks--bukan bagian dari Tentara Salib—tetap dibiarkan tinggal dan beribadah di kawasan itu.

Kemenangan tentara Islam yang dipimpin Shalahuddin membuat marah dunia Kristen. Mereka kemudian mengirimkan pasukan gabungan Eropa yang dipimpin Raja Perancis Phillip Augustus, Kaisar Jerman Frederick Barbarossa dan Raja Inggris Richard “Si Hati Singa” (the Lion Heart).

Pada masa ini pertempuran berlangsung sengit. Pada tahun 1194, Richard yang digambarkan sebagai seorang pahlawan dalam sejarah Inggris, memerintahkan untuk menghukum mati 3000 orang Islam, yang kebanyakan di antaranya wanita-wanita dan anak-anak. Tragedi ini berlangsung di Kastil Acre.

Suatu hari, Richard sakit keras. Mendengar kabar itu, Shalahuddin secara sembunyi-sembunyi berusaha mendatanginya. Ia mengendap-endap ke tenda Richard. Begitu tiba, bukannya membunuh, malah dengan ilmu kedokteran yang hebat Shalahudin mengobati Richard hingga akhirnya sembuh.

Richard terkesan dengan kebesaran hati Shalahuddin. Ia pun menawarkan damai dan berjanji akan menarik mundur pasukan Kristen pulang ke Eropa. Mereka pun menandatangani perjanjian damai (1197). Dalam perjanjian itu, Shalahuddin membebaskan orang Kristen untuk mengunjungi Palestina, asal mereka datang dengan damai dan tidak membawa senjata. Selama delapan abad berikutnya, Palestina berada di bawah kendali kaum Muslimin.

***

Perang Salib IV berlangsung tahun 1202-1204. Bukan antara Islam dan Kristen, melainkan antara Takhta Suci Katolik Roma dengan Takhta Kristen Ortodoks Romawi Timur di Konstantinopel (sekarang Istambul, Turki).

Pada Perang Salib V berlangsung tahun 1218-1221. Orang-orang Kristen yang sudah bersatu berusaha menaklukkan Mesir yang merupakan pintu masuk ke Palestina. Tapi upaya ini gagal total.

Kaisar Jerman, Frederick II (1194-1250), mengobarkan Perang Salib VI (1228), tapi tanpa pertempuran yang berarti. Ia lebih memilih berdialog dengan Sultan Mesir, Malik Al-Kamil, yang juga keponakan Shalahuddin. Dicapailah Kesepakatan Jaffa. Isinya, Baitul Maqdis tetap dikuasai oleh Muslim, tapi Betlehem (kota kelahiran Nabi Isa ‘alaihis-salaam) dan Nazareth (kota tempat Nabi Isa dibesarkan) dikuasai orang Eropa-Kristen.

Dua Perang Salib VII (1248-1254) dan Perang Salib VIII (1270) dikobarkan oleh Raja Perancis, Louis IX (1215-1270). Tahun 1248 Louis menyerbu Mesir tapi gagal dan ia menjadi tawanan. Perancis harus menyerahkan emas yang sangat banyak untuk menebusnya.

Tahun 1270 Louis mencoba membalas kekalahan itu dengan menyerang Tunisia. Namun pasukannya berhasil dikalahkan Sultan Dinasti Mamaluk, Bibars. Louis meninggal di medan perang.

Sampai di sini periode Perang Salib berakhir. Namun, beberapa sejarawan Katholik menganggap bahwa penaklukan Konstantinopel (ibukota Byzantium, Romawi Timur) oleh Sultan Muhammad II Al-Fatih dari Turki (1453) juga sebagai Perang Salib. Penaklukan Andalusia, kawasan Spanyol Selatan yang diperintah dinasti Bani Ummayyah, oleh Raja Ferdinand dan Ratu Isabella (1492), juga dianggap Perang Salib.* [Agung Pribadi, Pambudi. Dikutip dari Majalah Hidayatullah/www.hidayatullah.com] Selasa, 15 Mei 2007