Tuesday, June 19, 2007

"Studi Agama-Agama di Yogyakarta"

UGM membuka program ’studi agama-agama’. Sayang, jika pembukaan studi itu harus 'menjual' aqidah Islam. Baca Catatan Akhir Pekan Adian Husaini ke-199

Oleh: Adian Husaini

Beberapa hari lalu saya menerima sebuah brosur tentang studi agama-agama untuk tingkat doktor (Ph.D.) di Yogyakarta. Tepatnya, studi agama ini bernama ”Inter-religious International Ph.D. Program”. Program ini bertempat di Universitas Gajah Mada (UGM) Yogyakarta, dan terselenggara atas kerjasama UGM, UIN Sunan Kalijaga dan Universitas Kristen Duta Wacana (UKDW). Ketiga kampus itu bekerjasama membentuk satu konsorsium yang diberi nama ”Indonesian Consortium for Religious Studies” (ICRS- Yogya).

Direktur konsorsium ini adalah Pror Dr Bernard Adeney-Risakotta, seorang penganut Kristen asal Amerika Serikat. Sebenarnya, konsorsium ini sudah diresmikan di Yogya pada Januari 2007 lalu. Pengukuhan dilakukan oleh Sri Sultan di Kraton Yogya, yang juga dihadiri oleh Rektor UGM (ketika itu) Prof. Dr. Sofian Effendi, Rektor UIN Sunan Kalijaga Prof Dr HM Amin Abdullah, dan Rektor UKDW Pdt. Dr. Budyanto. Kini, ICRS sudah mulai menerima mahasiswa, dan direncanakan, perkuliahan akan dimulai pada September 2007 mendatang.

Juga, Harian Kompas (7 Oktober 2006), sudah pernah memuat berita tentang studi Lintas Agama untuk program S-3 yang diselenggarakan ICRS Yogya ini. Kompas menulis bahwa selain mempelajari lebih mendalam tentang keberagaman agama di Indonesia, pendirian program doktoral ini juga bertujuan untuk memberi pencerahan bagi masyarakat Indonesia agar tidak terjebak dalam fanatisme sempit. Ketika itu baru dalam tahap penandatanganan nota kesepahaman (MoU) penyelenggaraan program S3 Inter-Religious Studies oleh ICRS di Keraton Yogya.

Ketika itu, Sultan mengemukakan, sejak era reformasi, sebagian masyarakat kehilangan budaya rukun. Ini terbukti dari sering terjadinya benturan antarpenganut agama di Indonesia. "Fanatisme sempitlah yang melatarinya. Salah satunya karena terkadang ada pemimpin agama yang lebih menekankan prinsip superioritas dan eksklusif. Dalam khotbah atau ceramah misi misalnya, prinsip toleransi juga kurang ditekankan. Pola seperti ini harus dibenahi," kata Sultan, seperti dikutip Kompas.

Prof Dr Bernard Adeney, Director ICRS Yogya, mengutarakan, ICRS Yogya merupakan konsorsium pertama yang menggabungkan universitas-universitas dengan semangat saling percaya untuk belajar satu sama lain tentang keberagaman agama di Indonesia. "Program doktor ini akan mengkaji semua agama-agama di Indonesia melalui dialog dan pendekatan ilmu sosial sekuler, studi agama perspektif Islam, dan tradisi ilmu teologi Kristen. Agama-agama lain juga diteliti melalui pendekatan masing-masing yang diperkaya dengan dialog lintas agama," kata Bernard Adeney.

Sedangkan Rektor UIN Sunan Kalijaga Prof Dr HM Amin Abdullah menuturkan, dipilihnya Yogyakarta sebagai tempat penyelenggaraan program S3 Inter-Religious Studies ini dengan pertimbangan proses akulturasi sudah berjalan lama dan tidak ada masalah. "Kedua, pendidikan dan rumah sakit di DIY berjalan tanpa fanatisme. Terbukti dari pasien rumah sakit dan siswa sekolah sangat beragam. Ketiga, di Yogyakarta tidak ada wilayah eksklusif antarpenganut agama sehingga iklimnya mendukung," kata Amin.

Demikianlah laporan tentang program studi lintas-agama oleh ICRS Yogya, sebagaimana diberitakan Kompas. Berita itu memang sudah cukup lama. Tapi, sepertinya kurang mendapat perhatian serius dari berbagai kalangan, khususnya kaum Muslim di Yogya. Beberapa kali saya ke Yogyakarta tidak mendengar informasi yang serius tentang masalah ini. Padahal, pembukaan program studi lintas agama ini merupakan gebrakan besar dalam studi agama-agama di Indonesia.

Untuk itu, ada baiknya, kita menelaah tujuan dan latar belakang serta visi dan misi studi lintas agama tingkat doktoral di Yogyakarta yang melibatkan tiga kampus tersebut, berdasarkan pada brosur dan website konsorsium (www.icrsyogya.net).

Menurut pengelolanya, program studi agama-agama oleh ICRS ini barangkali merupakan yang pertama di dunia, yang disponsori oleh institusi Islam (UIN), Kristen (UKDW), dan sekuler (UGM). Pada banyak negara, program seperti ini tidak pernah terpikirkan. Karena itu, momentum pendirian program ini adalah peristiwa bersejarah bagi Indonesia. Rencananya, program ini juga menjalin kerjasama dengan berbagai kampus di dunia.

Dijelaskan, bahwa keistimewaan dari program ICRS Yogya ini adalah studi tentang agama-agama Indonesia, khususnya Islam Indonesia. (The primary strength of ICRS-Yogya is the study of Indonesian religions, especially Indonesian Islam). ICRS Yogya juga memiliki sumber-sumber yang kuat tentang studi Kristen Indonesia, dan juga menyediakan fasilitas untuk melakukan studi tentang Hindu, Budha, agama-agama China, dan juga agama-agama lokal. (ICRS-Yogya also has strong resources for the study of Indonesian Christianity, and can facilitate study of Balinese Hinduism, Indonesian Buddhism, Indonesian Chinese religions and indigenous local religions).

Ada yang menarik dari paparan ICRS tentang studi agama-agama tersebut. Mereka menggunakan istilah ”Indonesian religions” (”agama-agama Indonesia”), juga istilah “Indonesian Islam” (Islam Indonesia). Begitu juga istilah ”Indonesian Christianity”, “Balinese Hinduism”, “Indonesian Buddhism”, dan “Indonesian Chinese religions”.

Penggunaan istilah untuk agama-agama tersebut oleh ICRS sebenarnya agak ceroboh. Untuk Islam, terutama. Jika ada istilah “Indonesian Islam” atau “Islam Indonesia”, apakah lalu ada “Islam Arab”, “Islam Amerika”, “Islam Hongkong”, “Islam Kutub Utara”, “Islam Kutub Selatan”, dan sebagainya? Tentu saja hal itu tidak ada. Islam adalah agama yang satu, di mana pun berada. Tidak berbeda antara Islam yang ada di Arab, yang di China, yang di Kutub Utara atau di Kutub Selatan. Kaum Muslim di mana pun membaca syahadat yang sama, shalat lima waktu dengan cara yang sama, haji dengan cara yang sama, berhari raya Idul Fithri 1 Syawal dan Idul Adha 10 Zulhijjah, dan sebagainya. Al-Quran-nya pun juga satu dan alam bahasa Arab. Jadi, Islam tidak mengenal perbedaan agama karena faktor lokalitas.

Istilah agama dikaitkan dengan lokalitas semacam itu bisa digunakan untuk Hindu, semisal ”Balinese Hinduism”. Sebab, kaum Hindu sendiri menerima perbedaan agama karena faktor budaya lokal tersebut. Memang kaum Hindu mengakui adanya Hindu Bali, Jawa, Hindu Malaysia, Hindu India, dan sebagainya, yang semuanya tetap sebagai agama Hindu. Dalam buku ”Semua Agama Tidak Sama”, terbitan Media Hindu (2006), disebutkan: ”Seseorang dapat mengatakan bahwa terdapat lebih banyak agama di dalam Hindu daripada di luarnya. Agama Hindu mempunyai lebih banyak Dewa dan Dewi, lebih banyak pustaka suci, lebih banyak orang suci, maharesi, dan avatara dibandingkan dengan agama-agama utama dijadikan satu.”

Dalam berbagai aspek, Kristen juga terkait dengan lokalitas. Kaum Kristen di Indonesia, sembahyang dalam bahasa Indonesia. Berbeda dengan di negara-negara lain. Bibelnya juga dicetak dalam bahasa lokal. Masing-masing sekte memiliki cara sembahyang masing-masing. Karakter dan tradisi ritual dalam Kristen, Hindu, Budha, dan juga agama-agama China itu sangat berbeda dengan Islam yang mendasarkan ritualnya kepada wahyu dan teladan (sunnah) Nabi Muhammad saw. Karakter khas Islam seperti ini harusnya diakui dalam studi agama-agama; bukan disamaratakan istilahnya seperti ICRS.

ICRS juga menggunakan istilah ”indigenous local religions” (agama-agama lokal asli). Yang dimaksud oleh ICRS sebagai agama asli adalah ”agama suku”. Kita tidak tahu, apakah yang dimaksudkan juga termasuk berbagai aliran kebatinan atau kepercayaan yang ada di Indonesia. Untuk Indonesia, istilah ”indigenous local religions” atau ”agama suku” itu bisa menimbulkan masalah. Menurut Penpres 1/1965, ada enam agama yang diakui, yaitu Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha, dan Khonghucu. Dengan istilah itu, maka aliran Gatholoco, Darmogandhul, dan sebagainya, bisa disebut sebagai “agama lokal asli”. Sebaliknya, Islam, Kristen, dan sebagainya, dikategorikan sebagai”agama asing” atau ”agama pendatang”, sehingga kaum kebatinan di Indonesia pernah menggugat, mengapa agama pendatang diakui sedangkan agama yang asli justru tidak diakui!? Hingga kini, Departemen Agama tidak mengurusi masalah aliran kepercayaan di Indonesia. Tetapi, urusannya diserahkan kepada Depdiknas. Kini, ICRS mengangkat istilah ”agama lokal asli Indonesia”.

Dalam bukunya, Islam dan Kebatinan (Jakarta: Bulan Bintang, 1977), Prof. H.M. Rasjidi menulis kesulitannya untuk mencari kata asing dari kata ”kebatinan” di Indonesia. Menurut Rasjidi, ia pernah bertanya kepada tokoh kebatinan Indonesia, Wongsonegoro SH juga pernah mengaku ditanya wartawan asing tentang istilah yang tepat untuk kebatinan. Tetapi, belum juga mendapat jawaban yang memuaskan. Sejumlah kata yang dieksplorasi Rasjidi untuk menerjemahkan kata kebatinan diantaranya adalah ’Sciences occultes’, ’mystic’, ’metaphysic’, atau ’moralist’. Tentu tidak mudah untuk menyebut semua aliran kebatinan/kepercayaan di Indonesia sebagai ’religion’, sebagaimana Islam, Yahudi, Kristen, dan sebagainya.

Program doktoral studi lintas agama ICRS ini menawarkan tiga area kajian, yaitu: (1) Cultural and Historical Studies of Religion (2) Religion, Social Theory and Contemporary Issues, dan (3) Comparative Interpretation of Sacred Texts. Disebutkan dalam brosur program ini, dalam kajian agama-agama versi ICRS Yogya, misalnya, mahasiswa akan diajak untuk mendengarkan paparan tentang berbagai sejarah agama di Indonesia ditinjau dari berbagai perspektif dan diajar oleh para dosen dari berbagai disiplin dan berbagai agama. Sebagai contoh, para mahasiswa akan mendengar sejarah agama-agama di Indonesia dari agama Hindu, Budha, Islam, Kristen, juga dari kaum yang aspirasinya terabaikan (forgotten voices) seperti “indigenous Indonesian religions (agama suku)” dan kelompok-kelompok terlarang (forbidden groups).

Karena kajian agama-agama di ICRS terutama ditujukan kepada kajian Islam, maka dengan perspektif ICRS seperti itu, kita bisa membayangkan, doktor agama macam apa yang ingin dicetak oleh ICRS. Mereka tampaknya diarahkan untuk melakukan kajian agama-agama dari sudut pandang ”netral agama”. Para calon doktor bidang agama itu diarahkan untuk tidak lagi memiliki perspektif ”iman-kafir”, ”tauhid-syirik”, ”haq-bathil”, ”sunnah-bid’ah”, dan sebagainya. Semua agama dilihat sebagai fenomena budaya, fenomena sejarah, dan pengalaman spiritual. Bahkan, kelompok-kelompok terlarang yang dinyatakan sesat oleh umat Islam, seperti Agama Salamullahnya Lie Eden akan diterima dengan tangan terbuka dalam kajian agama-agama di ICRS Yogya ini.

Adalah juga menarik untuk mencermati ’corak pemikiran’ dosen-dosen yang dipasang sebagai pengajar di program doktor lintas agama ala ICRS Yogya ini. Dari UIN Yogya ada nama Prof. Dr. M. Amin Abdullah, rektor UIN Yogya yang sudah tersohor sebagai pendukung pemikiran Nasr Hamid Abu Zayd. Ada juga Dr. Nurcholish Setiawan, murid Abu Zayd yang menerbitkan disertasinya dengan judul ”Al-Quran Kitab Sastra Terbesar”. Ada Prof. Dr. Machasin yang menerbitkan disertasinya dengan judul ”Al-Qaddi Abd al-Jabbar, Mutasyabih al-Quran: Dalih Rasionalitas Al-Qur’an.” Ada Dr. Fatimah Husein yang menulis disertasi doktor di Melboerne University tentang hubungan Islam-Kristen di Indonesia dalam perspektif Muslim Inklusif dan Muslim Eksklusif. Ada juga Dr. Sahiron Syamsuddin, yang dikenal banyak menulis tentang pemikir liberal asal Suria, Muhammad Syahrur. Lalu, ada Prof. Dr. Iskandar Zulkarnain yang disertasinya diterbitkan dengan judul ”Gerakan Amadiyah di Indonesia”.

Diantara dosen tamu yang dicadangkan memberi kuliah adalah Prof. Dr. Nasr H. Abu Zaid (Utrecht, ISIM), Prof. Dr. Abdullahi A. An Na'im, dan Dr. Khaled M Abou El Fadl (UCLA). Kita sudah kenal siapa Nasr Hamid Abu Zayd. Dia adalah pemikir asal Mesir yang dikenal dengan pendapatnya bahwa Al-Quran adalah produk budaya (muntaj tsaqafi).

Sebagai umat Muslim, kita hanya bisa mengimbau kepada para profesor dan doktor bidang keislaman yang sedang berkuasa di UIN Yogya dan UGM, agar mereka menjaga amanahnya sebagai cendekiawan dan ulama Muslim, untuk meneruskan risalah kenabian Muhammad saw dalam menjaga dan menanamkan aqidah Islam, tidak mencampur aduk antara keimanan dan kekufuran, antara tauhid dan kemusyrikan, antara haq wal bathil, sebagaimana perilaku kaum Yahudi. (QS 2:42). Sebab, Al-Quran dengan tegas menyebutkan tugas utama para nabi adalah menyerukan tauhid dan menjauhkan manusia dari tindakan syirik. (QS 16:36). Al-Quran juga menyebutkan, bahwa Allah SWT sangat murka karena dituduh punya anak. (QS 19:88-91).

Para profesor dan doktor itu mudah-mudahan paham, bahwa untuk membangun kerukunan umat beragama, tidaklah perlu dilakukan dengan mengorbankan aqidah dan keyakinan akan kebenaran Islam. Nabi Muhammad saw telah memberikan suri tauladan, bagaimana membangun kerukunan umat beragama, tanpa mengorbankan keimanan.

Kita juga mengimbau, agar para tokoh, cendekiawan, mubaligh, aktivis Islam di Yogyakarta mau memahami dan peduli dengan masalah-masalah yang berkaitan dengan pendidikan keagamaan seperti ini. Sebab, ini berkaitan dengan masalah pemikiran dan aqidah Islam. Mudah-mudahan wilayah Yogyakarta diselamatkan dari berbagai musibah dan bencana. Amin. [Depok, 15 Juni 2007, www.hidayatullah.com]

Catatan Akhir Pekan [CAP] Adian Husaini adalah hasil kerjasama antara Radio Dakta 107 FM dan www.hidayatullah.com

www.hidayatullah.com, Selasa, 19 Juni 2007

Thursday, June 7, 2007

Baasyir Belum Berfikir Menjadi Capres


Majelis Mujahidin Indonesia (MMI) mengedepankan wacana pencalonan Amir Majelis Mujahidin Ustad Abu Bakar Baasyir sebagai calon presiden independen dalam pemilu 2009.

Menanggapi itu, Amir Majelis Mujahidin Ustad Abu Bakar Baasyir menyatakan, belum memikirkan masalah itu, sebab baginya siapa yang memimpin Indonesia ke depan, yang terpentingharus mampu mengedepankan penegakan syariat.

"Saya belum berfikir tentang itu, saya kira saya tidak mempunyai kemampuan untuk itu, saya cuma bertugas menasehati, " ujarnya usai jumpa pers pembentukan Brigade Pemburu Koruptor, di Hotel Sofyan Cikini, Jakarta, Rabu (6/6).

Menurutnya, meski saat ini tokoh yang diharapkan itu belum muncul, namun ia optimis dengan jalan dakwah yang saat ini ditempuhnya, pasti Allah akan mengabulkan apa yang diinginkannya bersama umat Islam lainnya.

"Sabar saja, Allah pasti akan menurunkannya karena Islam itu pasti menang, tidak mungkin kalah, kalau belum ada tokoh yang pantas, kita harus tetap berjuang, " imbuh pemimpin Pondok Pesanteren Ngruki, Solo itu.

Baasyir menghimbau, agar umat Islam dapat bersungguh-sungguh dalam menjalankan ajaran agama yang diterapkan untuk kehidupan pribadi dan bernegara, sebab akan dipertanggungjawabkan akan langsung kepada Allah.

Ia menambahkan, kegagalan pemimpin di tanah air, disebabkan kepemimpinan mereka tidak dilandasi dengan keikhlasan, dan hanya berdasarkan kepentingan dan tujuan-tujuan pribadi.

Sementara itu, Ketua Tim Advokasi FUI Munarman menganggap Ustad Baasyir merupakan orang yang pantas memimpin negara, karena Baasyir dalah tokoh yang mampu bersikap konsisten dalam menegakan syariat Islam.

Meski demikian, Munarman menyerahkan, keputusan itu kepada Ustad Baasyir, apakah akan melanjutkan apa yang telah diwacanakan tersebut.

"Dia memang orang yang pantas, paling bersih, tapi kita lihat saja nanti, " tukasnya. (novel)

eramuslim.com, Kamis, 7 Jun 07 09:01 WIB