Tuesday, May 29, 2007

Pertemuan AS-Iran di Baghdad, Masing-Masing Pihak Ajukan Tuntutan


Pertemuan bersejarah sejak 27 tahun terakhir antara delegasi AS dengan Iran mencuatkan permintaan masing-masing pihak.

Pada Senin (28/5) kemarin AS minta agar Iran segera menghentikan bantuan persenjataan bagi para pemberontak di Irak. Sementara negeri Mullah itu menawarkan diri untuk melatih dan mempersenjatai militer Irak.

"Republik Islam Iran telah menyatakan kesiapannya untuk memberikan segala bentuk bantuan, termasuk dalam hal kerja sama dan pembekalan militer (Irak) dengan senjata dan pelatihan, " ujar Dubes Iran untuk Irak Hassan Kazemi Qomi.

Sementara rekan Qomi, Dubes AS di Baghdad Ryan Cooker dalam keterangan terkait hasil pertemuan itu menyatakan, "Pembicaraan belangsung 4 jam, dan AS bersikeras meminta agar Iran merealisasikan kata-katanya dengan kerja, yaitu dengan menghentikan sokongannya terhadap kelompok-kelompok bersenjata di Irak."

Dubes AS itu sendiri tanpa sungkan menuduh Iran telah membantu milisi-milisi yang kerap menyerang militer Irak dan AS. "Sebenarnya, banyak sekali ledakan-ledakan dan bahan peledak yang digunakan kelompok-kelompok itu dari Iran untuk Irak, " tuduh dia.

Saat ditanya sikap delegasi Iran atas tuduhan AS itu, Cooker menjelaskan bahwa Iran tidak memberikan jawaban yang jelas, dan hanya memberikan jawaban secara umum terkait dukungan Iran terhadap Irak dan Perdana menteri Nouri Al-Maliki.

"Suasana pertemuan itu tadinya untuk membicarakan kerja nyata. Kami sudah menyampaikannya. Demikian juga orang-orang Iran itu, " kata Cooker sambil menjelaskan bahwa yang diinginkan AS saat ini bukan hal-hal yang bersifat umum dan mendasar, tapi tindakan nyata.

"Kami dari cara pandang AS telah menjelaskan bahwa masalahnya berkaitan dengan dengan kerja, bukan dengan prinsip-prinsip, " katanya dengan nada kesal.

Lewat pertemuan itu, AS nampaknya mulai mengalihkan tudingan pada Iran terkait situasi keamanan di Irak yang makin memburuk, untuk menyelamatkan citra AS yang makin negatif di negeri 1001 Malam itu. Padahal aktor utama kehancuran di Irak adalah invasi AS dan sekutu-sekutunya. (ilyas/alrb)

eramuslim.com; Selasa, 29 Mei 07 10:53 WIB

Friday, May 25, 2007

Yahudi Berniat Hancurkan Perpustakan Bersejarah Palestina

Zionis-Yahudi dikabarkan berniat menghancurkan perpustakaan bersejarah Palestina. Termasuk data sejarah dan budaya Palestina, demikian kutip TV Al-Alam

Hidyatullah.com—Zionis-Yahudi mengeluarkan instruksi untuk menghancurkan perpustakaan bersejarah Palestina. Perpustakaan ini adalah sebuah lembaga yang mengumpulkan data-data sejarah dan budaya Palestina.

Menurut laporan Televisi Al-Alam dari Baitul Maqdis, para pejabat Rezim Zionis mengingatkan kepada pengelola perpustakaan Al-Anshari di jalan Saint George, Baitul Maqdis untuk mengosongkan bangunan perpustakan bersejarah itu, yang kemudian akan dihancurkan.

Fahmi Al Anshori sebagai pemilik dan pengelola perpustaakan ini ketika diwawancarai Televisi Al-Alam mengatakan, "Perpustakaan ini menyimpan berbagai buku tentang sejarah Palestina serta sejarah Arab dan Islam. Dan selama 47 tahun, lebih dari 45 ribu jilid buku dikumpulkan di perpustakaan ini.

Berdasarkan laporan tersebut, Rezim Zionis terus menekan warga Arab di kawasan Baitul Maqdis dalam rangka mengubah sejarah serta identitas Arab dan Islam kota Baitul Maqdis, sedangkan warga Zionis yang berada di kawasan lain dipindahkan ke kota tersebut.

Upaya pengubahan identitas Islam di kota Baitul Magdis kian gencar setelah rezim Zionis Israel gagal melakukan penggalian di bawah Masjid Al-Aqsha, dan rezim ini dalam penggalian tersebut sama sekali tak menemukan bukti bahwa warga Yahudi Zionis berasal dari kawasan ini.

Direktur Pusat Hukum Baitu Maqdis, Ziyad Al Hamudi, kepada Televisi Al-Alam menuturkan, "Zonis Israel begitu ngotot melakukan yudaisasi di kota Baitul Maqdis, dan sejak pendudukan atas Baitul Maqdis, mereka mengubah nama-nama tempat yang berciri Islam dan Arab di kota ini." [irib/cha/www.hidayatullah.com] Jumat, 25 Mei 2007

Wednesday, May 16, 2007

Israel Langgar Hukum Internasional, Siapa yang Peduli?


Komite International Palang Merah (ICRC) mengeluarkan sebuah laporan yang isinya menyatakan bahwa Israel telah mengabaikan kewajibannya atas Al-Quds-wilayah Palestina yang didudukinya-dan hanya memenuhi kepentingan pemukim Yahudi dengan biaya yang diambil dari warga Palestina.

Laporan tersebut sebenarnya bersifat rahasia dan bukan untuk konsumsi publik, namun berhasil diungkap oleh surat kabar The New York Times edisi Selasa (15/5).

Dalam laporan itu, ICRC juga menyatakan bahwa Israel telah mengisolasi warga Palestina di Al-Quds dari wilayah pendudukan lainnya di Tepi Barat dan dengan sengaja tidak membolehkan warga Palestina di Al-Quds untuk memiliki tempat tinggal permanen. Akibat kebijakan itu, warga Palestina tidak mendapatkan akses layanan kebutuhan dasar mereka seperti sekolah dan layanan kesehatan.

Keberadaan tembok pemisah di Tepi Barat, menurut ICRC juga ikut mempengaruhi kondisi demografi karena menutup akses ke pemukiman-pemukiman di kota itu dan memisahkan wilayah pemukiman Palestina yang sudah sejak lama ada.

Israel tetap tidak mau membongkar tembok pemisah yang akan dibuat sepanjang 900 kilometer di Tepi Barat itu, meski Pengadilan Internasional sudah mengeluarkan pernyataan bahwa tembok itu ilegal dan Dewan Umum PBB sudah memerintahkan agar Israel meruntuhkan tembok tersebut dan memberikan kompensasi bagi warga Palestina.

Sembilan bulan setelah pembangunan tembok tersebut, sekitar bulan Februari, ICRC sebenarnya sudah membuat laporan, namun laporan-laporan ICRC tentang kejahatan Israel terhadap warga Palestina tidak pernah dipublikasikan.

Menurut juru bicara ICRC Bernard Barret, laporan-laporan itu langsung diserahkan pada Israel dan ke beberapa negara saja. Ia meyakini langkah itu merupakan langkah terbaik dalam upaya menerapkan hukum internasional terkait masalah-masalah kemanusiaan.

Selewengkan Kekuasaan

Lebih lanjut dalam laporan terbarunya, ICRC menyatakan bahwa Israel telah menyalahgunakan kekuasaannya sebagai penjajah dan hanya mengambil keuntungan untuk kepentingannya sendiri atau untuk kepentingan warga Israel saja. Dengan demikian, Israel jelas telah melanggar hukum internasional terutama yang terkait dengan aturan daerah pendudukan.

ICRC menegaskan bahwa semua wilayah Palestina yang dicaplok Israel selama perang tahun 1967, termasuk wilayah Yerusalem Timur, tetap akan menjadi wilayah pendudukan di bawah hukum internasional.

Padahal, di bawah pendudukan Negara Zionis itu, kehidupan warga Palestina sangat menderita. Sejak 1967, Israel menerapkan kebijakan-kebijakan yang memaksa warga Palestina untuk keluar dari Al-Quds, termasuk kebijakan penghancuran rumah-rumah warga Palestina yang dilakukan secara sistematis.

Israel juga tidak mau mengeluarkan izin pembangunan rumah bagi warga Palestina. Warga Palestina bahkan dilarang merenovasi rumahnya, kecuali ada izin dari Israel. Faktanya warga Palestina jarang ada yang mendapatkan izin tersebut.

Israel mengeluarkan kartu identitas khusus bagi warga Palestina di Al-Quds. Tanpa kartu identitas, warga Palestina yang lain dilarang masuk ke Al-Quds. Padahal di kota itu terdapat kompleks Masjid Al-Aqsha, masjid suci ketiga bagi umat Islam sedunia.

Laporan ICRC ini merupakan fakta dan bukti kesewenang-wenangan penjajah bernama Israel. Namun dunia tetap bungkam dan tidak pernah menjatuhkan sanksi pada Israel yang nyata-nyata telah melanggar hukum internasional. (ln/iol)

eramuslim.com, Rabu, 16 Mei 07 09:36 WIB


Tuesday, May 15, 2007

Keteladanan Shalahuddin Al-Ayyubi dalam Perang Salib

Bermula dari perebutan wilayah Palestina, peperangan pasukan Kristen-Islam berlangsung sekitar 174 tahun. Bagaimana akhlaq Islam dari peristiwa ini?

Hidayatullah.com--“Pemandangan mengagumkan akan terlihat. Beberapa orang lelaki kami memenggal kepala-kepala musuh; lainnya menembaki mereka dengan panah-panah, sehingga mereka berjatuhan dari menara-menara; lainnya menyiksa mereka lebih lama dengan memasukkannya ke dalam api menyala. Tumpukan kepala, tangan, dan kaki terlihat di jalan-jalan kota. Kami berjalan di atas mayat-mayat manusia dan kuda. Tapi ini hanya masalah kecil jika dibandingkan dengan apa yang terjadi di Biara Sulaiman, tempat dimana ibadah keagamaan kini dinyanyikan kembali. Di sana, para pria berdarah-darah disuruh berlutut dan dibelenggu lehernya.”

Kisah di atas bukan skenario film yang fiktif, tapi sungguh-sungguh pernah terjadi. Itu adalah pengakuan seseorang bernama Raymond, salah satu serdadu Perang Salib I. Pengakuan ini didokumentasikan oleh August C Krey, penulis buku The First Crusade: The Accounts of Eye-Witnesses and Praticipants (Princeton and London: 1991).

Bagi kaum Muslimin, Perang Salib I (1096-1099) memang menyesakkan. Menurut catatan Krey, hanya dalam tempo dua hari, 40.000 kaum Muslimin dan Yahudi di sekitar Palestina, baik pria maupun wanita, dibantai secara massal dengan cara tak berperikemanusiaan. Cara pembantaiannya tergambar dalam pengakuan Raymond di atas.

Sepak Terjang Tentara Salib

Sejak tentara Islam yang dipimpin Khalifah Umar bin Khattab (638 M) yang berhasil membebaskan Palestina dari dari kekaisaran Byzantium (Romawi Timur) sampai abad ke-11 M, Palestina berada di bawah pemerintahan Islam dan merupakan kawasan yang tertib dan damai. Orang-orang Yahudi, Nasrani, dan Islam hidup bersama. Namun kedamaian itu seolah lenyap ditelan bumi begitu Tentara Salib datang melakukan invasi.

Ceritanya bermula ketika orang-orang kekhalifahan Turki Utsmani merebut Anatolia (Asia Kecil, sekarang termasuk wilayah Turki) dari kekuasaan Raja Byzantium, Alexius I. Raja ini kemudian minta tolong kepada Paus Urbanus II, guna merebut kembali wilayah itu dari cengkeraman kaum yang mereka sebut “orang kafir”.

Paus Urbanus II segera memutuskan untuk mengadakan ekspedisi besar-besaran yang ambisius (27 November 1095). Tekad itu makin membara setelah Paus menerima laporan bahwa Khalifah Abdul Hakim—yang menguasai Palestina saat itu—menaikkan pajak ziarah ke Palestina bagi orang-orang Kristen Eropa. “Ini perampokan! Oleh karena itu, tanah suci Palestina harus direbut kembali,” kata Paus.

Perang melawan kaum Muslimin diumumkan secara resmi pada tahun 1096 oleh Takhta Suci Roma. Paus juga mengirim surat ke semua raja di seluruh Eropa untuk ikut serta. Mereka dijanjikan kejayaan, kesejahteraan, emas, dan tanah di Palestina, serta surga bagi para ksatria yang mau berperang.

Paus juga meminta anggota Konsili Clermont di Prancis Selatan—terdiri atas para uskup, kepala biara, bangsawan, ksatria, dan rakyat sipil—untuk memberikan bantuan. Paus menyerukan agar bangsa Eropa yang bertikai segera bersatu padu untuk mengambil alih tanah suci Palestina. Hadirin menjawab dengan antusias, “Deus Vult!” (Tuhan menghendakinya!)

Dari pertemuan terbuka itu ditetapkan juga bahwa mereka akan pergi perang dengan memakai salib di pundak dan baju. Dari sinilah bermula sebutan Perang Salib (Crusade). Paus sendiri menyatakan ekspedisi ini sebagai “Perang Demi Salib” untuk merebut tanah suci.

Mobilisasi massa Paus menghasilkan sekitar 100.000 serdadu siap tempur. Anak-anak muda, bangsawan, petani, kaya dan miskin memenuhi panggilan Paus. Peter The Hermit dan Walter memimpin kaum miskin dan petani. Namun mereka dihancurkan oleh Pasukan Turki suku Seljuk di medan pertempuran Anatolia ketika perjalanan menuju Baitul Maqdis (Yerusalem).

Tentara Salib yang utama berasal dari Prancis, Jerman, dan Normandia (Prancis Selatan). Mereka dikomandani oleh Godfrey dan Raymond (dari Prancis), Bohemond dan Tancred (keduanya orang Normandia), dan Robert Baldwin dari Flanders (Belgia). Pasukan ini berhasil menaklukkan kaum Muslimin di medan perang Antakiyah (Antiokia, Suriah) pada tanggal 3 Juni 1098.

Sepanjang perjalanan menuju Palestina, Tentara Salib membantai orang-orang Islam. Tentara Jerman juga membunuhi orang-orang Yahudi. Rombongan besar ini akhirnya sampai di Baitul Maqdis pada tahun 1099. Mereka langsung melancarkan pengepungan, dan tak lupa melakukan pembantaian. Sekitar lima minggu kemudian, tepatnya 15 Juli 1099, mereka berhasil merebut Baitul Maqdis dari tangan kaum Muslimin. Kota ini akhirnya dijadikan ibukota Kerajaan Katolik yang terbentang dari Palestina hingga Antakiyah. .

Teladan Shalahuddin Al-Ayyubi

Pada tahun 1145-1147 berlangsung Perang Salib II. Namun pada peperangan ini tidak terjadi pertempuran berarti karena ekspedisi perang tentara Eropa yang dipimpin oleh Raja Louis VII dari Perancis gagal mencapai Palestina. Mereka tertahan di Iskandariyah lalu kembali ke negara asalnya.

Perang besar-besaran baru terjadi sekitar empat dasawarsa berikutnya pada Perang Salib III (1187-1191). Pada masa itu, Kekhalifahan Islam terpecah menjadi dua, yaitu Dinasti Fathimiyah di Kairo (bermazhab Syi’ah) dan Dinasti Seljuk yang berpusat di Turki (bermazhab Sunni). Kondisi ini membuat Shalahuddin Al-Ayyubi, panglima perang Dinasti Fathimiyah, merasa prihatin. Menurutnya, Islam harus bersatu untuk melawan Eropa-Kristen yang juga bahu-membahu.

Melalui serangkaian lobi, akhirnya Shalahuddin Al-Ayyubi berhasil menyatukan kedua kubu dengan damai. Pekerjaan pertama selesai. Shalahuddin kini dihadapkan pada perilaku kaum Muslimin yang tampak loyo dan tak punya semangat jihad. Mereka dihinggapi penyakit wahn (cinta dunia dan takut mati). Spirit perjuangan yang pernah dimiliki tokoh-tokoh terdahulu tak lagi membekas di hati.

Shalahuddin lantas menggagas sebuah festival yang diberi nama peringatan Maulid Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam. Tujuannya untuk menumbuhkan dan membangkitkan spirit perjuangan. Di festival ini dikaji habis-habisan sirah nabawiyah (sejarah nabi) dan atsar (perkataan) sahabat, terutama yang berkaitan dengan nilai-nilai jihad.

Festival ini berlangsung dua bulan berturut-turut. Hasilnya luar biasa. Banyak pemuda Muslim yang mendaftar untuk berjihad membebaskan Palestina. Mereka pun siap mengikuti pendidikan kemiliteran.

Shalahuddin berhasil menghimpun pasukan yang terdiri atas para pemuda dari berbagai negeri Islam. Pasukan ini kemudian berhasil mengalahkan Pasukan Salib di Hittin (dekat Acre, kini dikuasai Israel) pada 4 Juli 1187. Pasukan Kristen bahkan akhirnya terdesak dan terkurung di Baitul Maqdis.

Dua pemimpin tentara Perang Salib, Reynald dari Chatillon (Prancis) dan Raja Guy, dibawa ke hadapan Shalahuddin. Reynald akhirnya dijatuhi hukuman mati karena terbukti memimpin pembantaian yang sangat keji kepada orang-orang Islam. Namun Raja Guy dibebaskan karena tidak melakukan kekejaman yang serupa.

Tiga bulan setelah pertempuran Hittin, pada hari yang tepat sama ketika Nabi Muhammad diperjalankan dari Mekah ke Yerusalem dalam Isra’ Mi’raj (bertepatan 2 Oktober 1187), pasukan Shalahuddin memasuki Baitul Maqdis. Kawasan ini akhirnya bisa direbut kembali oleh pasukan Islam setelah 88 tahun berada dalam cengkeraman musuh.

Sejarawan Inggris, Karen Armstrong, menggambarkan, pada tanggal 2 Oktober 1187 itu, Shalahuddin dan tentaranya memasuki Baitul Maqdis sebagai penakluk yang berpegang teguh pada ajaran Islam yang mulia. Tidak ada dendam untuk membalas pembantaian tahun 1099, seperti yang dianjurkan Al-Qur`an dalam surat An-Nahl ayat 127: “Bersabarlah (hai Muhammad) dan tiadalah kesabaran itu melainkan dengan pertolongan Allah dan janganlah kamu bersedih hati terhadap (kekafiran) mereka dan janganlah kamu bersempit dada terhadap apa yang mereka tipu dayakan.

Permusuhan dihentikan dan Shalahuddin menghentikan pembunuhan. Ini sesuai dengan firman dalam Al-Qur`an: “Dan perangilah mereka sehingga tidak ada fitnah lagi dan agama itu hanya untuk Allah. Jika mereka berhenti (memusuhi kamu), maka tidak ada permusuhan lagi, kecuali terhadap orang-orang yang zhalim.” (Al-Baqarah: 193)

Tak ada satu orang Kristen pun yang dibunuh dan tidak ada perampasan. Jumlah tebusan pun disengaja sangat rendah. Shalahuddin bahkan menangis tersedu-sedu karena keadaan mengenaskan keluarga-keluarga yang hancur terpecah-belah. Ia membebaskan banyak tawanan, meskipun menyebabkan keputusasaan bendaharawan negaranya yang telah lama menderita. Saudara lelakinya, Al-Malik Al-Adil bin Ayyub, juga sedih melihat penderitaan para tawanan sehingga dia meminta Salahuddin untuk membawa seribu orang di antara mereka dan membebaskannya saat itu juga.

Beberapa pemimpin Muslim sempat tersinggung karena orang-orang Kristen kaya melarikan diri dengan membawa harta benda, yang sebenarnya bisa digunakan untuk menebus semua tawanan. [Uskup] Heraclius membayar tebusan dirinya sebesar sepuluh dinar seperti halnya tawanan lain, dan bahkan diberi pengawal pribadi untuk mempertahankan keselamatan harta bendanya selama perjalanan ke Tyre (Libanon).

Shalahuddin meminta agar semua orang Nasrani Latin (Katolik) meninggalkan Baitul Maqdis. Sementara kalangan Nasrani Ortodoks--bukan bagian dari Tentara Salib—tetap dibiarkan tinggal dan beribadah di kawasan itu.

Kemenangan tentara Islam yang dipimpin Shalahuddin membuat marah dunia Kristen. Mereka kemudian mengirimkan pasukan gabungan Eropa yang dipimpin Raja Perancis Phillip Augustus, Kaisar Jerman Frederick Barbarossa dan Raja Inggris Richard “Si Hati Singa” (the Lion Heart).

Pada masa ini pertempuran berlangsung sengit. Pada tahun 1194, Richard yang digambarkan sebagai seorang pahlawan dalam sejarah Inggris, memerintahkan untuk menghukum mati 3000 orang Islam, yang kebanyakan di antaranya wanita-wanita dan anak-anak. Tragedi ini berlangsung di Kastil Acre.

Suatu hari, Richard sakit keras. Mendengar kabar itu, Shalahuddin secara sembunyi-sembunyi berusaha mendatanginya. Ia mengendap-endap ke tenda Richard. Begitu tiba, bukannya membunuh, malah dengan ilmu kedokteran yang hebat Shalahudin mengobati Richard hingga akhirnya sembuh.

Richard terkesan dengan kebesaran hati Shalahuddin. Ia pun menawarkan damai dan berjanji akan menarik mundur pasukan Kristen pulang ke Eropa. Mereka pun menandatangani perjanjian damai (1197). Dalam perjanjian itu, Shalahuddin membebaskan orang Kristen untuk mengunjungi Palestina, asal mereka datang dengan damai dan tidak membawa senjata. Selama delapan abad berikutnya, Palestina berada di bawah kendali kaum Muslimin.

***

Perang Salib IV berlangsung tahun 1202-1204. Bukan antara Islam dan Kristen, melainkan antara Takhta Suci Katolik Roma dengan Takhta Kristen Ortodoks Romawi Timur di Konstantinopel (sekarang Istambul, Turki).

Pada Perang Salib V berlangsung tahun 1218-1221. Orang-orang Kristen yang sudah bersatu berusaha menaklukkan Mesir yang merupakan pintu masuk ke Palestina. Tapi upaya ini gagal total.

Kaisar Jerman, Frederick II (1194-1250), mengobarkan Perang Salib VI (1228), tapi tanpa pertempuran yang berarti. Ia lebih memilih berdialog dengan Sultan Mesir, Malik Al-Kamil, yang juga keponakan Shalahuddin. Dicapailah Kesepakatan Jaffa. Isinya, Baitul Maqdis tetap dikuasai oleh Muslim, tapi Betlehem (kota kelahiran Nabi Isa ‘alaihis-salaam) dan Nazareth (kota tempat Nabi Isa dibesarkan) dikuasai orang Eropa-Kristen.

Dua Perang Salib VII (1248-1254) dan Perang Salib VIII (1270) dikobarkan oleh Raja Perancis, Louis IX (1215-1270). Tahun 1248 Louis menyerbu Mesir tapi gagal dan ia menjadi tawanan. Perancis harus menyerahkan emas yang sangat banyak untuk menebusnya.

Tahun 1270 Louis mencoba membalas kekalahan itu dengan menyerang Tunisia. Namun pasukannya berhasil dikalahkan Sultan Dinasti Mamaluk, Bibars. Louis meninggal di medan perang.

Sampai di sini periode Perang Salib berakhir. Namun, beberapa sejarawan Katholik menganggap bahwa penaklukan Konstantinopel (ibukota Byzantium, Romawi Timur) oleh Sultan Muhammad II Al-Fatih dari Turki (1453) juga sebagai Perang Salib. Penaklukan Andalusia, kawasan Spanyol Selatan yang diperintah dinasti Bani Ummayyah, oleh Raja Ferdinand dan Ratu Isabella (1492), juga dianggap Perang Salib.* [Agung Pribadi, Pambudi. Dikutip dari Majalah Hidayatullah/www.hidayatullah.com]

Bermula dari perebutan wilayah Palestina, peperangan pasukan Kristen-Islam berlangsung sekitar 174 tahun. Bagaimana akhlaq Islam dari peristiwa ini?

Hidayatullah.com--“Pemandangan mengagumkan akan terlihat. Beberapa orang lelaki kami memenggal kepala-kepala musuh; lainnya menembaki mereka dengan panah-panah, sehingga mereka berjatuhan dari menara-menara; lainnya menyiksa mereka lebih lama dengan memasukkannya ke dalam api menyala. Tumpukan kepala, tangan, dan kaki terlihat di jalan-jalan kota. Kami berjalan di atas mayat-mayat manusia dan kuda. Tapi ini hanya masalah kecil jika dibandingkan dengan apa yang terjadi di Biara Sulaiman, tempat dimana ibadah keagamaan kini dinyanyikan kembali. Di sana, para pria berdarah-darah disuruh berlutut dan dibelenggu lehernya.”

Kisah di atas bukan skenario film yang fiktif, tapi sungguh-sungguh pernah terjadi. Itu adalah pengakuan seseorang bernama Raymond, salah satu serdadu Perang Salib I. Pengakuan ini didokumentasikan oleh August C Krey, penulis buku The First Crusade: The Accounts of Eye-Witnesses and Praticipants (Princeton and London: 1991).

Bagi kaum Muslimin, Perang Salib I (1096-1099) memang menyesakkan. Menurut catatan Krey, hanya dalam tempo dua hari, 40.000 kaum Muslimin dan Yahudi di sekitar Palestina, baik pria maupun wanita, dibantai secara massal dengan cara tak berperikemanusiaan. Cara pembantaiannya tergambar dalam pengakuan Raymond di atas.

Sepak Terjang Tentara Salib

Sejak tentara Islam yang dipimpin Khalifah Umar bin Khattab (638 M) yang berhasil membebaskan Palestina dari dari kekaisaran Byzantium (Romawi Timur) sampai abad ke-11 M, Palestina berada di bawah pemerintahan Islam dan merupakan kawasan yang tertib dan damai. Orang-orang Yahudi, Nasrani, dan Islam hidup bersama. Namun kedamaian itu seolah lenyap ditelan bumi begitu Tentara Salib datang melakukan invasi.

Ceritanya bermula ketika orang-orang kekhalifahan Turki Utsmani merebut Anatolia (Asia Kecil, sekarang termasuk wilayah Turki) dari kekuasaan Raja Byzantium, Alexius I. Raja ini kemudian minta tolong kepada Paus Urbanus II, guna merebut kembali wilayah itu dari cengkeraman kaum yang mereka sebut “orang kafir”.

Paus Urbanus II segera memutuskan untuk mengadakan ekspedisi besar-besaran yang ambisius (27 November 1095). Tekad itu makin membara setelah Paus menerima laporan bahwa Khalifah Abdul Hakim—yang menguasai Palestina saat itu—menaikkan pajak ziarah ke Palestina bagi orang-orang Kristen Eropa. “Ini perampokan! Oleh karena itu, tanah suci Palestina harus direbut kembali,” kata Paus.

Perang melawan kaum Muslimin diumumkan secara resmi pada tahun 1096 oleh Takhta Suci Roma. Paus juga mengirim surat ke semua raja di seluruh Eropa untuk ikut serta. Mereka dijanjikan kejayaan, kesejahteraan, emas, dan tanah di Palestina, serta surga bagi para ksatria yang mau berperang.

Paus juga meminta anggota Konsili Clermont di Prancis Selatan—terdiri atas para uskup, kepala biara, bangsawan, ksatria, dan rakyat sipil—untuk memberikan bantuan. Paus menyerukan agar bangsa Eropa yang bertikai segera bersatu padu untuk mengambil alih tanah suci Palestina. Hadirin menjawab dengan antusias, “Deus Vult!” (Tuhan menghendakinya!)

Dari pertemuan terbuka itu ditetapkan juga bahwa mereka akan pergi perang dengan memakai salib di pundak dan baju. Dari sinilah bermula sebutan Perang Salib (Crusade). Paus sendiri menyatakan ekspedisi ini sebagai “Perang Demi Salib” untuk merebut tanah suci.

Mobilisasi massa Paus menghasilkan sekitar 100.000 serdadu siap tempur. Anak-anak muda, bangsawan, petani, kaya dan miskin memenuhi panggilan Paus. Peter The Hermit dan Walter memimpin kaum miskin dan petani. Namun mereka dihancurkan oleh Pasukan Turki suku Seljuk di medan pertempuran Anatolia ketika perjalanan menuju Baitul Maqdis (Yerusalem).

Tentara Salib yang utama berasal dari Prancis, Jerman, dan Normandia (Prancis Selatan). Mereka dikomandani oleh Godfrey dan Raymond (dari Prancis), Bohemond dan Tancred (keduanya orang Normandia), dan Robert Baldwin dari Flanders (Belgia). Pasukan ini berhasil menaklukkan kaum Muslimin di medan perang Antakiyah (Antiokia, Suriah) pada tanggal 3 Juni 1098.

Sepanjang perjalanan menuju Palestina, Tentara Salib membantai orang-orang Islam. Tentara Jerman juga membunuhi orang-orang Yahudi. Rombongan besar ini akhirnya sampai di Baitul Maqdis pada tahun 1099. Mereka langsung melancarkan pengepungan, dan tak lupa melakukan pembantaian. Sekitar lima minggu kemudian, tepatnya 15 Juli 1099, mereka berhasil merebut Baitul Maqdis dari tangan kaum Muslimin. Kota ini akhirnya dijadikan ibukota Kerajaan Katolik yang terbentang dari Palestina hingga Antakiyah. .

Teladan Shalahuddin Al-Ayyubi

Pada tahun 1145-1147 berlangsung Perang Salib II. Namun pada peperangan ini tidak terjadi pertempuran berarti karena ekspedisi perang tentara Eropa yang dipimpin oleh Raja Louis VII dari Perancis gagal mencapai Palestina. Mereka tertahan di Iskandariyah lalu kembali ke negara asalnya.

Perang besar-besaran baru terjadi sekitar empat dasawarsa berikutnya pada Perang Salib III (1187-1191). Pada masa itu, Kekhalifahan Islam terpecah menjadi dua, yaitu Dinasti Fathimiyah di Kairo (bermazhab Syi’ah) dan Dinasti Seljuk yang berpusat di Turki (bermazhab Sunni). Kondisi ini membuat Shalahuddin Al-Ayyubi, panglima perang Dinasti Fathimiyah, merasa prihatin. Menurutnya, Islam harus bersatu untuk melawan Eropa-Kristen yang juga bahu-membahu.

Melalui serangkaian lobi, akhirnya Shalahuddin Al-Ayyubi berhasil menyatukan kedua kubu dengan damai. Pekerjaan pertama selesai. Shalahuddin kini dihadapkan pada perilaku kaum Muslimin yang tampak loyo dan tak punya semangat jihad. Mereka dihinggapi penyakit wahn (cinta dunia dan takut mati). Spirit perjuangan yang pernah dimiliki tokoh-tokoh terdahulu tak lagi membekas di hati.

Shalahuddin lantas menggagas sebuah festival yang diberi nama peringatan Maulid Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam. Tujuannya untuk menumbuhkan dan membangkitkan spirit perjuangan. Di festival ini dikaji habis-habisan sirah nabawiyah (sejarah nabi) dan atsar (perkataan) sahabat, terutama yang berkaitan dengan nilai-nilai jihad.

Festival ini berlangsung dua bulan berturut-turut. Hasilnya luar biasa. Banyak pemuda Muslim yang mendaftar untuk berjihad membebaskan Palestina. Mereka pun siap mengikuti pendidikan kemiliteran.

Shalahuddin berhasil menghimpun pasukan yang terdiri atas para pemuda dari berbagai negeri Islam. Pasukan ini kemudian berhasil mengalahkan Pasukan Salib di Hittin (dekat Acre, kini dikuasai Israel) pada 4 Juli 1187. Pasukan Kristen bahkan akhirnya terdesak dan terkurung di Baitul Maqdis.

Dua pemimpin tentara Perang Salib, Reynald dari Chatillon (Prancis) dan Raja Guy, dibawa ke hadapan Shalahuddin. Reynald akhirnya dijatuhi hukuman mati karena terbukti memimpin pembantaian yang sangat keji kepada orang-orang Islam. Namun Raja Guy dibebaskan karena tidak melakukan kekejaman yang serupa.

Tiga bulan setelah pertempuran Hittin, pada hari yang tepat sama ketika Nabi Muhammad diperjalankan dari Mekah ke Yerusalem dalam Isra’ Mi’raj (bertepatan 2 Oktober 1187), pasukan Shalahuddin memasuki Baitul Maqdis. Kawasan ini akhirnya bisa direbut kembali oleh pasukan Islam setelah 88 tahun berada dalam cengkeraman musuh.

Sejarawan Inggris, Karen Armstrong, menggambarkan, pada tanggal 2 Oktober 1187 itu, Shalahuddin dan tentaranya memasuki Baitul Maqdis sebagai penakluk yang berpegang teguh pada ajaran Islam yang mulia. Tidak ada dendam untuk membalas pembantaian tahun 1099, seperti yang dianjurkan Al-Qur`an dalam surat An-Nahl ayat 127: “Bersabarlah (hai Muhammad) dan tiadalah kesabaran itu melainkan dengan pertolongan Allah dan janganlah kamu bersedih hati terhadap (kekafiran) mereka dan janganlah kamu bersempit dada terhadap apa yang mereka tipu dayakan.

Permusuhan dihentikan dan Shalahuddin menghentikan pembunuhan. Ini sesuai dengan firman dalam Al-Qur`an: “Dan perangilah mereka sehingga tidak ada fitnah lagi dan agama itu hanya untuk Allah. Jika mereka berhenti (memusuhi kamu), maka tidak ada permusuhan lagi, kecuali terhadap orang-orang yang zhalim.” (Al-Baqarah: 193)

Tak ada satu orang Kristen pun yang dibunuh dan tidak ada perampasan. Jumlah tebusan pun disengaja sangat rendah. Shalahuddin bahkan menangis tersedu-sedu karena keadaan mengenaskan keluarga-keluarga yang hancur terpecah-belah. Ia membebaskan banyak tawanan, meskipun menyebabkan keputusasaan bendaharawan negaranya yang telah lama menderita. Saudara lelakinya, Al-Malik Al-Adil bin Ayyub, juga sedih melihat penderitaan para tawanan sehingga dia meminta Salahuddin untuk membawa seribu orang di antara mereka dan membebaskannya saat itu juga.

Beberapa pemimpin Muslim sempat tersinggung karena orang-orang Kristen kaya melarikan diri dengan membawa harta benda, yang sebenarnya bisa digunakan untuk menebus semua tawanan. [Uskup] Heraclius membayar tebusan dirinya sebesar sepuluh dinar seperti halnya tawanan lain, dan bahkan diberi pengawal pribadi untuk mempertahankan keselamatan harta bendanya selama perjalanan ke Tyre (Libanon).

Shalahuddin meminta agar semua orang Nasrani Latin (Katolik) meninggalkan Baitul Maqdis. Sementara kalangan Nasrani Ortodoks--bukan bagian dari Tentara Salib—tetap dibiarkan tinggal dan beribadah di kawasan itu.

Kemenangan tentara Islam yang dipimpin Shalahuddin membuat marah dunia Kristen. Mereka kemudian mengirimkan pasukan gabungan Eropa yang dipimpin Raja Perancis Phillip Augustus, Kaisar Jerman Frederick Barbarossa dan Raja Inggris Richard “Si Hati Singa” (the Lion Heart).

Pada masa ini pertempuran berlangsung sengit. Pada tahun 1194, Richard yang digambarkan sebagai seorang pahlawan dalam sejarah Inggris, memerintahkan untuk menghukum mati 3000 orang Islam, yang kebanyakan di antaranya wanita-wanita dan anak-anak. Tragedi ini berlangsung di Kastil Acre.

Suatu hari, Richard sakit keras. Mendengar kabar itu, Shalahuddin secara sembunyi-sembunyi berusaha mendatanginya. Ia mengendap-endap ke tenda Richard. Begitu tiba, bukannya membunuh, malah dengan ilmu kedokteran yang hebat Shalahudin mengobati Richard hingga akhirnya sembuh.

Richard terkesan dengan kebesaran hati Shalahuddin. Ia pun menawarkan damai dan berjanji akan menarik mundur pasukan Kristen pulang ke Eropa. Mereka pun menandatangani perjanjian damai (1197). Dalam perjanjian itu, Shalahuddin membebaskan orang Kristen untuk mengunjungi Palestina, asal mereka datang dengan damai dan tidak membawa senjata. Selama delapan abad berikutnya, Palestina berada di bawah kendali kaum Muslimin.

***

Perang Salib IV berlangsung tahun 1202-1204. Bukan antara Islam dan Kristen, melainkan antara Takhta Suci Katolik Roma dengan Takhta Kristen Ortodoks Romawi Timur di Konstantinopel (sekarang Istambul, Turki).

Pada Perang Salib V berlangsung tahun 1218-1221. Orang-orang Kristen yang sudah bersatu berusaha menaklukkan Mesir yang merupakan pintu masuk ke Palestina. Tapi upaya ini gagal total.

Kaisar Jerman, Frederick II (1194-1250), mengobarkan Perang Salib VI (1228), tapi tanpa pertempuran yang berarti. Ia lebih memilih berdialog dengan Sultan Mesir, Malik Al-Kamil, yang juga keponakan Shalahuddin. Dicapailah Kesepakatan Jaffa. Isinya, Baitul Maqdis tetap dikuasai oleh Muslim, tapi Betlehem (kota kelahiran Nabi Isa ‘alaihis-salaam) dan Nazareth (kota tempat Nabi Isa dibesarkan) dikuasai orang Eropa-Kristen.

Dua Perang Salib VII (1248-1254) dan Perang Salib VIII (1270) dikobarkan oleh Raja Perancis, Louis IX (1215-1270). Tahun 1248 Louis menyerbu Mesir tapi gagal dan ia menjadi tawanan. Perancis harus menyerahkan emas yang sangat banyak untuk menebusnya.

Tahun 1270 Louis mencoba membalas kekalahan itu dengan menyerang Tunisia. Namun pasukannya berhasil dikalahkan Sultan Dinasti Mamaluk, Bibars. Louis meninggal di medan perang.

Sampai di sini periode Perang Salib berakhir. Namun, beberapa sejarawan Katholik menganggap bahwa penaklukan Konstantinopel (ibukota Byzantium, Romawi Timur) oleh Sultan Muhammad II Al-Fatih dari Turki (1453) juga sebagai Perang Salib. Penaklukan Andalusia, kawasan Spanyol Selatan yang diperintah dinasti Bani Ummayyah, oleh Raja Ferdinand dan Ratu Isabella (1492), juga dianggap Perang Salib.* [Agung Pribadi, Pambudi. Dikutip dari Majalah Hidayatullah/www.hidayatullah.com]

Bermula dari perebutan wilayah Palestina, peperangan pasukan Kristen-Islam berlangsung sekitar 174 tahun. Bagaimana akhlaq Islam dari peristiwa ini?

Hidayatullah.com--“Pemandangan mengagumkan akan terlihat. Beberapa orang lelaki kami memenggal kepala-kepala musuh; lainnya menembaki mereka dengan panah-panah, sehingga mereka berjatuhan dari menara-menara; lainnya menyiksa mereka lebih lama dengan memasukkannya ke dalam api menyala. Tumpukan kepala, tangan, dan kaki terlihat di jalan-jalan kota. Kami berjalan di atas mayat-mayat manusia dan kuda. Tapi ini hanya masalah kecil jika dibandingkan dengan apa yang terjadi di Biara Sulaiman, tempat dimana ibadah keagamaan kini dinyanyikan kembali. Di sana, para pria berdarah-darah disuruh berlutut dan dibelenggu lehernya.”

Kisah di atas bukan skenario film yang fiktif, tapi sungguh-sungguh pernah terjadi. Itu adalah pengakuan seseorang bernama Raymond, salah satu serdadu Perang Salib I. Pengakuan ini didokumentasikan oleh August C Krey, penulis buku The First Crusade: The Accounts of Eye-Witnesses and Praticipants (Princeton and London: 1991).

Bagi kaum Muslimin, Perang Salib I (1096-1099) memang menyesakkan. Menurut catatan Krey, hanya dalam tempo dua hari, 40.000 kaum Muslimin dan Yahudi di sekitar Palestina, baik pria maupun wanita, dibantai secara massal dengan cara tak berperikemanusiaan. Cara pembantaiannya tergambar dalam pengakuan Raymond di atas.

Sepak Terjang Tentara Salib

Sejak tentara Islam yang dipimpin Khalifah Umar bin Khattab (638 M) yang berhasil membebaskan Palestina dari dari kekaisaran Byzantium (Romawi Timur) sampai abad ke-11 M, Palestina berada di bawah pemerintahan Islam dan merupakan kawasan yang tertib dan damai. Orang-orang Yahudi, Nasrani, dan Islam hidup bersama. Namun kedamaian itu seolah lenyap ditelan bumi begitu Tentara Salib datang melakukan invasi.

Ceritanya bermula ketika orang-orang kekhalifahan Turki Utsmani merebut Anatolia (Asia Kecil, sekarang termasuk wilayah Turki) dari kekuasaan Raja Byzantium, Alexius I. Raja ini kemudian minta tolong kepada Paus Urbanus II, guna merebut kembali wilayah itu dari cengkeraman kaum yang mereka sebut “orang kafir”.

Paus Urbanus II segera memutuskan untuk mengadakan ekspedisi besar-besaran yang ambisius (27 November 1095). Tekad itu makin membara setelah Paus menerima laporan bahwa Khalifah Abdul Hakim—yang menguasai Palestina saat itu—menaikkan pajak ziarah ke Palestina bagi orang-orang Kristen Eropa. “Ini perampokan! Oleh karena itu, tanah suci Palestina harus direbut kembali,” kata Paus.

Perang melawan kaum Muslimin diumumkan secara resmi pada tahun 1096 oleh Takhta Suci Roma. Paus juga mengirim surat ke semua raja di seluruh Eropa untuk ikut serta. Mereka dijanjikan kejayaan, kesejahteraan, emas, dan tanah di Palestina, serta surga bagi para ksatria yang mau berperang.

Paus juga meminta anggota Konsili Clermont di Prancis Selatan—terdiri atas para uskup, kepala biara, bangsawan, ksatria, dan rakyat sipil—untuk memberikan bantuan. Paus menyerukan agar bangsa Eropa yang bertikai segera bersatu padu untuk mengambil alih tanah suci Palestina. Hadirin menjawab dengan antusias, “Deus Vult!” (Tuhan menghendakinya!)

Dari pertemuan terbuka itu ditetapkan juga bahwa mereka akan pergi perang dengan memakai salib di pundak dan baju. Dari sinilah bermula sebutan Perang Salib (Crusade). Paus sendiri menyatakan ekspedisi ini sebagai “Perang Demi Salib” untuk merebut tanah suci.

Mobilisasi massa Paus menghasilkan sekitar 100.000 serdadu siap tempur. Anak-anak muda, bangsawan, petani, kaya dan miskin memenuhi panggilan Paus. Peter The Hermit dan Walter memimpin kaum miskin dan petani. Namun mereka dihancurkan oleh Pasukan Turki suku Seljuk di medan pertempuran Anatolia ketika perjalanan menuju Baitul Maqdis (Yerusalem).

Tentara Salib yang utama berasal dari Prancis, Jerman, dan Normandia (Prancis Selatan). Mereka dikomandani oleh Godfrey dan Raymond (dari Prancis), Bohemond dan Tancred (keduanya orang Normandia), dan Robert Baldwin dari Flanders (Belgia). Pasukan ini berhasil menaklukkan kaum Muslimin di medan perang Antakiyah (Antiokia, Suriah) pada tanggal 3 Juni 1098.

Sepanjang perjalanan menuju Palestina, Tentara Salib membantai orang-orang Islam. Tentara Jerman juga membunuhi orang-orang Yahudi. Rombongan besar ini akhirnya sampai di Baitul Maqdis pada tahun 1099. Mereka langsung melancarkan pengepungan, dan tak lupa melakukan pembantaian. Sekitar lima minggu kemudian, tepatnya 15 Juli 1099, mereka berhasil merebut Baitul Maqdis dari tangan kaum Muslimin. Kota ini akhirnya dijadikan ibukota Kerajaan Katolik yang terbentang dari Palestina hingga Antakiyah. .

Teladan Shalahuddin Al-Ayyubi

Pada tahun 1145-1147 berlangsung Perang Salib II. Namun pada peperangan ini tidak terjadi pertempuran berarti karena ekspedisi perang tentara Eropa yang dipimpin oleh Raja Louis VII dari Perancis gagal mencapai Palestina. Mereka tertahan di Iskandariyah lalu kembali ke negara asalnya.

Perang besar-besaran baru terjadi sekitar empat dasawarsa berikutnya pada Perang Salib III (1187-1191). Pada masa itu, Kekhalifahan Islam terpecah menjadi dua, yaitu Dinasti Fathimiyah di Kairo (bermazhab Syi’ah) dan Dinasti Seljuk yang berpusat di Turki (bermazhab Sunni). Kondisi ini membuat Shalahuddin Al-Ayyubi, panglima perang Dinasti Fathimiyah, merasa prihatin. Menurutnya, Islam harus bersatu untuk melawan Eropa-Kristen yang juga bahu-membahu.

Melalui serangkaian lobi, akhirnya Shalahuddin Al-Ayyubi berhasil menyatukan kedua kubu dengan damai. Pekerjaan pertama selesai. Shalahuddin kini dihadapkan pada perilaku kaum Muslimin yang tampak loyo dan tak punya semangat jihad. Mereka dihinggapi penyakit wahn (cinta dunia dan takut mati). Spirit perjuangan yang pernah dimiliki tokoh-tokoh terdahulu tak lagi membekas di hati.

Shalahuddin lantas menggagas sebuah festival yang diberi nama peringatan Maulid Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam. Tujuannya untuk menumbuhkan dan membangkitkan spirit perjuangan. Di festival ini dikaji habis-habisan sirah nabawiyah (sejarah nabi) dan atsar (perkataan) sahabat, terutama yang berkaitan dengan nilai-nilai jihad.

Festival ini berlangsung dua bulan berturut-turut. Hasilnya luar biasa. Banyak pemuda Muslim yang mendaftar untuk berjihad membebaskan Palestina. Mereka pun siap mengikuti pendidikan kemiliteran.

Shalahuddin berhasil menghimpun pasukan yang terdiri atas para pemuda dari berbagai negeri Islam. Pasukan ini kemudian berhasil mengalahkan Pasukan Salib di Hittin (dekat Acre, kini dikuasai Israel) pada 4 Juli 1187. Pasukan Kristen bahkan akhirnya terdesak dan terkurung di Baitul Maqdis.

Dua pemimpin tentara Perang Salib, Reynald dari Chatillon (Prancis) dan Raja Guy, dibawa ke hadapan Shalahuddin. Reynald akhirnya dijatuhi hukuman mati karena terbukti memimpin pembantaian yang sangat keji kepada orang-orang Islam. Namun Raja Guy dibebaskan karena tidak melakukan kekejaman yang serupa.

Tiga bulan setelah pertempuran Hittin, pada hari yang tepat sama ketika Nabi Muhammad diperjalankan dari Mekah ke Yerusalem dalam Isra’ Mi’raj (bertepatan 2 Oktober 1187), pasukan Shalahuddin memasuki Baitul Maqdis. Kawasan ini akhirnya bisa direbut kembali oleh pasukan Islam setelah 88 tahun berada dalam cengkeraman musuh.

Sejarawan Inggris, Karen Armstrong, menggambarkan, pada tanggal 2 Oktober 1187 itu, Shalahuddin dan tentaranya memasuki Baitul Maqdis sebagai penakluk yang berpegang teguh pada ajaran Islam yang mulia. Tidak ada dendam untuk membalas pembantaian tahun 1099, seperti yang dianjurkan Al-Qur`an dalam surat An-Nahl ayat 127: “Bersabarlah (hai Muhammad) dan tiadalah kesabaran itu melainkan dengan pertolongan Allah dan janganlah kamu bersedih hati terhadap (kekafiran) mereka dan janganlah kamu bersempit dada terhadap apa yang mereka tipu dayakan.

Permusuhan dihentikan dan Shalahuddin menghentikan pembunuhan. Ini sesuai dengan firman dalam Al-Qur`an: “Dan perangilah mereka sehingga tidak ada fitnah lagi dan agama itu hanya untuk Allah. Jika mereka berhenti (memusuhi kamu), maka tidak ada permusuhan lagi, kecuali terhadap orang-orang yang zhalim.” (Al-Baqarah: 193)

Tak ada satu orang Kristen pun yang dibunuh dan tidak ada perampasan. Jumlah tebusan pun disengaja sangat rendah. Shalahuddin bahkan menangis tersedu-sedu karena keadaan mengenaskan keluarga-keluarga yang hancur terpecah-belah. Ia membebaskan banyak tawanan, meskipun menyebabkan keputusasaan bendaharawan negaranya yang telah lama menderita. Saudara lelakinya, Al-Malik Al-Adil bin Ayyub, juga sedih melihat penderitaan para tawanan sehingga dia meminta Salahuddin untuk membawa seribu orang di antara mereka dan membebaskannya saat itu juga.

Beberapa pemimpin Muslim sempat tersinggung karena orang-orang Kristen kaya melarikan diri dengan membawa harta benda, yang sebenarnya bisa digunakan untuk menebus semua tawanan. [Uskup] Heraclius membayar tebusan dirinya sebesar sepuluh dinar seperti halnya tawanan lain, dan bahkan diberi pengawal pribadi untuk mempertahankan keselamatan harta bendanya selama perjalanan ke Tyre (Libanon).

Shalahuddin meminta agar semua orang Nasrani Latin (Katolik) meninggalkan Baitul Maqdis. Sementara kalangan Nasrani Ortodoks--bukan bagian dari Tentara Salib—tetap dibiarkan tinggal dan beribadah di kawasan itu.

Kemenangan tentara Islam yang dipimpin Shalahuddin membuat marah dunia Kristen. Mereka kemudian mengirimkan pasukan gabungan Eropa yang dipimpin Raja Perancis Phillip Augustus, Kaisar Jerman Frederick Barbarossa dan Raja Inggris Richard “Si Hati Singa” (the Lion Heart).

Pada masa ini pertempuran berlangsung sengit. Pada tahun 1194, Richard yang digambarkan sebagai seorang pahlawan dalam sejarah Inggris, memerintahkan untuk menghukum mati 3000 orang Islam, yang kebanyakan di antaranya wanita-wanita dan anak-anak. Tragedi ini berlangsung di Kastil Acre.

Suatu hari, Richard sakit keras. Mendengar kabar itu, Shalahuddin secara sembunyi-sembunyi berusaha mendatanginya. Ia mengendap-endap ke tenda Richard. Begitu tiba, bukannya membunuh, malah dengan ilmu kedokteran yang hebat Shalahudin mengobati Richard hingga akhirnya sembuh.

Richard terkesan dengan kebesaran hati Shalahuddin. Ia pun menawarkan damai dan berjanji akan menarik mundur pasukan Kristen pulang ke Eropa. Mereka pun menandatangani perjanjian damai (1197). Dalam perjanjian itu, Shalahuddin membebaskan orang Kristen untuk mengunjungi Palestina, asal mereka datang dengan damai dan tidak membawa senjata. Selama delapan abad berikutnya, Palestina berada di bawah kendali kaum Muslimin.

***

Perang Salib IV berlangsung tahun 1202-1204. Bukan antara Islam dan Kristen, melainkan antara Takhta Suci Katolik Roma dengan Takhta Kristen Ortodoks Romawi Timur di Konstantinopel (sekarang Istambul, Turki).

Pada Perang Salib V berlangsung tahun 1218-1221. Orang-orang Kristen yang sudah bersatu berusaha menaklukkan Mesir yang merupakan pintu masuk ke Palestina. Tapi upaya ini gagal total.

Kaisar Jerman, Frederick II (1194-1250), mengobarkan Perang Salib VI (1228), tapi tanpa pertempuran yang berarti. Ia lebih memilih berdialog dengan Sultan Mesir, Malik Al-Kamil, yang juga keponakan Shalahuddin. Dicapailah Kesepakatan Jaffa. Isinya, Baitul Maqdis tetap dikuasai oleh Muslim, tapi Betlehem (kota kelahiran Nabi Isa ‘alaihis-salaam) dan Nazareth (kota tempat Nabi Isa dibesarkan) dikuasai orang Eropa-Kristen.

Dua Perang Salib VII (1248-1254) dan Perang Salib VIII (1270) dikobarkan oleh Raja Perancis, Louis IX (1215-1270). Tahun 1248 Louis menyerbu Mesir tapi gagal dan ia menjadi tawanan. Perancis harus menyerahkan emas yang sangat banyak untuk menebusnya.

Tahun 1270 Louis mencoba membalas kekalahan itu dengan menyerang Tunisia. Namun pasukannya berhasil dikalahkan Sultan Dinasti Mamaluk, Bibars. Louis meninggal di medan perang.

Sampai di sini periode Perang Salib berakhir. Namun, beberapa sejarawan Katholik menganggap bahwa penaklukan Konstantinopel (ibukota Byzantium, Romawi Timur) oleh Sultan Muhammad II Al-Fatih dari Turki (1453) juga sebagai Perang Salib. Penaklukan Andalusia, kawasan Spanyol Selatan yang diperintah dinasti Bani Ummayyah, oleh Raja Ferdinand dan Ratu Isabella (1492), juga dianggap Perang Salib.* [Agung Pribadi, Pambudi. Dikutip dari Majalah Hidayatullah/www.hidayatullah.com] Selasa, 15 Mei 2007

Monday, May 14, 2007

Israel Setujui Kebijakan Pembunuhan Bagi Pejuang Palestina


Kabinet Israel menyetujui kebijakan untuk membunuh lebih banyak lagi warga Palestina di Jalur Gaza yang dicurigai sebagai pejuang yang melawan penjajah Israel. Langkah itu diambil setelah militer Israel menuding kelompok-kelompok pejuang Palestina menembakkan lima roket dari Jalur Gaza, hari Minggu kemarin.

Mereka menyatakan, kebijakan ini sangat penting untuk menghentikan serangan-serangan roket ke wilayah selatan Israel. Padahal dari lima roket yang dituduhkan itu, hanya satu roket yang dilaporkan "mendarat" di wilayah Israel.

"Selama beberapa jam menteri kabinet bidang keamanan membahas tentang kompleksnya situasi keamanan di Jalur Gaza dan dampaknya ke wilayah Tepi Barat bahkan sampai ke Sinai, Mesir, " kata Menteri Kesejahteraan Israel Yitzhak Herzog.

Ia menambahkan, kabinet akan lebih menaruh perhatian pada upaya menghentikan tembakan-tembakan roket dari Jalur Gaza dan penyelundupan senjata dari Sinai.

Sementara itu, Menteri Perdagangan dan anggota kabinet bidang keamanan Eli Yishai sebelum pertemuan mengatakan bahwa Israel harus konsentrasi untuk menciptakan keamanan dengan cara pembunuhan target-target tertentu, perusakan infrastruktur dan markas-markas militer.

Seorang pejabat militer Israel mengklaim, sedikitnya 300 roket sudah ditembakkan pejuang Palestina ke wilayah Israel sejak gencatan senjata di Jalur Gaza bulan November kemarin. Angka yang sebenarnya tidak sebanding dengan jumlah korban di pihak warga Palestina, akibat serangan-serangan Israel.

Namun, kebijakan Israel menerapkan operasi pembunuhan terhadap para pejuang Palestina dikritik oleh organisasi-organisasi hak asasi manusia karena Israel kerap salah sasaran dengan menargetkan warga sipil Palestina.

Menanggapi ancaman Israel, Brigade Martir Al-Aqsha yang berafiliasi ke Fatah pimpinan Presiden Mahmud Abbas menyatakan bahwa mereka sudah memerintahkan para pejuangnya di Gaza untuk siap siaga menghadapi ancaman operasi militer Israel. (ln/aljz)

eramuslim.com , Senin, 14 Mei 07 11:44 WIB

Thursday, May 3, 2007

Khatib Saudi Ikut Kampanye ”Anti Terorisme”

Tak hanya Amerika dan Barat saja yang ikut kampanye ”terorisme” , Arab Saudi juga ikut-ikutan berkampanye memerangi ”terorisme”

Hidayatullah.com--Kementerian Urusan Islam Saudi berencana memobilisasi para khatib dan imam untuk berkampanye melawan ’terorisme’ dan menghalau pemikiran-pemikiran radikal dan takfir (pengkafiran) terhadap sesama Muslim.

Rencanya, pada Jumat (4/5) mendatang sebanyak 15 ribu khatib di 15 ribu masjid di negeri kaya minyak tersebut sudah dimobilisasi untuk menyampaikan khutbah dengan satu tema yakni melawan 'radikalisme' dan 'terorisme'.

Menteri Urusan Islam dan Wakaf Saudi, Saleh Al-Sheikh menyerukan seluruh khatib Jumat untuk menfokuskan khutbahnya pada isu tersebut sebagai salah satu upaya penyadaran kepada publik atas bahaya pemikiran radikalisme.

"Menteri memang telah menginstruksikan kepada para khatib untuk menfokuskan khutbah pada masalah radikalisme ini setelah Kementerian Dalam Negeri Jumat lalu sukses mematahkan tujuh sel teroris," kata DR. Taufik Al-Sadiri seperti dikutip harian Al-Sharqul Awsat, Rabu (2/5).

Deputi Menteri Urusan Islam Saudi itu menambahkan bahwa para khatib berperan untuk menjelaskan kesesatan kelompok radikal dan takfir. "Para khatib perlu menegaskan bahwa kelompok tersebut tidak memiliki sandaran syariat dalam melaksanakan aksi mereka," katanya.

Pihak kementerian akan melakukan pemantauan terhadap isi khutbah para khatib pada Jumat mendatang. Bagi yang tidak mengindahkan, kemungkinan besar akan dijatuhkan sanksi disiplin. Lembaga-lembaga terkait juga diminta untuk melanjutkan misi penyadaran terhadap bahaya pemikiran sesat tersebut. Upaya penyadaran tersebut membutuhkan program berkesinambungan.

"Kementerian sendiri telah mencanangkan program jangka panjang meliputi sekitar 72 ribu masjid di seluruh Saudi dengan menugaskan para khatib dan dai setempat untuk kepentingan serupa," ujar Al-Sadiri lagi. Mungkin langkah yang dilakukan negeri kaya minyak tersebut dapat dicontoh negara Islam lainnya, terutama negara yang pernah ikut menjadi korban akibat aksi ’terorisme’.

Belum jelas, apakah langkah Saudi ini benar-benar produktif atau justru sebaliknya. Sebab, sejak tragedi 11 September di WTC, istilah perang terhadap ’terorisme’ yang dilontarkan Amerika justru sering dimanfaatkan negara Barat dan Eropa untuk menyudutkan umat Islam.

Sebagaimana diketahui, Arab Saudi adalah adalah sekutu penting Amerika Serikat (AS) di Timur Tengah.

Persahabatan Saudi dengan AS diawali dengan ditemukannya ladang minyak yang kemudian dilanjutkan dengan bentuk kerjasama tanggal 29 Mei 1933 dengan terbentuknya perusahaan minyak, Standart Oil Company dari California dengan memperoleh konsesi selama 60 tahun dari Saudi.

Sebelum ini, Saudi juga dikecam karena menyediakan daerahnya untuk menjadi pangkalan militer AS. [ant/hid/www.hidayatullah.com]

Kamis, 03 Mei 2007

Amien Rais: "Kedaulatan Indonesia dalam bahaya"

Menurut Amien, dalam nota kesepakatan perjanjian ekstradisi RI-Singapura di Bali, ada poin-poin yang ’membahayakan’ kedualtan NKRI

Hidayatullah.com--Mantan Ketua MPR RI Amien Rais menyatakan, perjanjian ekstradisi RI-Singapura di Bali beberapa hari lalu telah "menciderai" bahkan dinilai dapat membahayakan kedaulatan Indonesia.

Dalam butir perjanjian ekstradisi itu Singapura boleh latihan perang-perangan dengan negara manapun di wilayah Indonesia. Itu amat berbahaya bagi pertahanan negara RI, kata Amien Rais di Jambi, hari ini.

Dalam orasi ilmiah tanpa teks pada acara wisuda ke-47 dan Dies Natalis ke-44 Universitas Jambi (Unja) di Kampus Pinang Masak Unja Mendalo Jambi, mantan Ketua Umum DPP PAN itu menjelaskan, sebaliknya Indonesia juga bisa latihan perang-perangan di wilayah Singapura hanya pura-pura dan sebuah lelucon.

Negara kecil kepulauan itu telah mendikte Indonesia sebagai negara terbesar di dunia, sementara pemerintah Indonesia dengan gagah menandatangani perjanjian ekstradisi lupa diri bahwa itu adalah ancaman besar.

Singapura bukan saja mendikte dari perjanjian ekstradisi, tetapi Indonesia secara tidak langsung telah dikuasai misalnya PT Indosat yang selama ini menguntungkan bagi RI telah beralih kepada mereka.

Indonesia nyaris habis karena PT Indosat yang memiliki jaringan bawah laut dan langsung ke satelit C2 Palapa selama ini menjadi salah satu peralatan informasi dan komunikasi baik untuk umum maupun kepentingan negara RI.

"Sekarang PT Indosat telah ditangan mereka, sehingga apapun rahasia negara kita sudah diketahui negara kecil yang tidak memiliki sumber daya alam itu," unkap Amien.

Lebih aneh lagi untuk membuat rute penerbangan domestik pun, misalnya Jambi akan membuka rute penerbangan ke Palembang atau Jambi-Medan harus izin Singapura.

"Ini kan keterlaluan. Ketika saya menanyakan itu ke Menteri Perhubungan (Menhub) Hatta Rajasa dengan enteng menjawab, memang sudah dari dulunya begitu," kata Amien Rais.

Ia mengimbau DPR RI untuk mengkaji ulang dan tidak menelan mentah-mentah perjanjian ekstradisi RI-Singapura itu. [ant/bi/ www.hidayatullah.com]

Kamis, 03 Mei 2007

Wednesday, May 2, 2007

April 2007, Bulan Paling Mematikan Bagi Pasukan AS di Irak


Bulan April 2007, ternyata menjadi bulan paling berdarah bagi tentara AS di Irak terhitung sejak mereka menginjakkan kakinya menduduki Irak pada tahun 2003. Setelah tewasnya 4 orang pasukan AS di Baghdad dua hari lalu, jumlah pasukan AS yang menemui ajalnya di Irak pada bulan ini saja, mencapai 103 orang.

Peristiwa serangan terakhir dinyatakan oleh tentara AS di Irak telah menyebabkan tiga orang pasukannya tewas akibat ledakan bom mobil di sisi Timur Baghdad hari Ahad kemarin (29/4). Dalam keterangan terpisah, tentara AS juga menyatakan seorang pasukannya terbunuh dalam serangan pejuang Irak di Timur Baghdad saat sedang melakukan patroli.

Sejumlah pengamat memandang bahwa kerugian yang dialami pasukan AS selama bulan April ini akan menambah tekanan lebih kuat terhadap presiden AS Bush untuk segera menarik pasukannya dari Irak. Bush sendiri beberapa waktu lalu mengancam akan menggunakan hak veto untuk tetap mempertahankan pasukannya di Irak dan mendapatkan kucuran dana militer untuk peperangan di Irak. Seperti diberitakan, Partai Demokrat yang mendominasi kongres AS memberi syarat waktu kepada Bush untuk menarik pasukan AS di Irak pada Oktober tahun ini juga. Kongres AS akan menyampaikan permintaan ini kepada Bush hari ini, Selasa (31/4).

Total pasukan AS yang meninggal di Irak sampai saat ini adalah 3.330 orang ditambah puluhan ribu orang warga sipil Irak. Peningkatan jumlah pasukan AS yang tewas ternyata justru terjadi dan meningkat tajam setelah AS menerapkan sistem keamanan ekstra ketat sejak Februari tahun ini untuk menghalangi menyusupnya anasir pejuang Irak.

Saat ini terdapat 146 ribu orang serdadu AS di Irak. Ditambah dengan sejumlah pasukan AS lain yang saat ini dalam perjalanan menuju Irak untuk menambah kekuatan militer AS di Neeeri 1001 Malam itu sesuai perintah Bush. (na-str/iol)

eramuslim.com

Tuesday, May 1, 2007

Blackwater: Theocon AS dan Agenda "Perang Salib" di Negara-Negara Islam


Perang AS di berbagai negara, seperti di Irak dan Afghanistan menurut sebagian pengamat bukan semata-mata alasan perang melawan terorisme. Perang itu juga menjadi ladang bisnis perusahaan senjata dan perusahaan jasa tentara bayaran bahkan perwujudan dari penerapan ideologi Kristen konservatif, para pendukung Perang Salib. Penulis Jeremy Scahill mengupasnya dalam buku terbarunya yang menjadi buku best seller.

Selain Scahill, sebenarnya sudah banyak penulis yang mengupas tentang "bisnis perang" dan agenda yang tersembunyi di dalamnya, yang melibatkan negara-negara besar seperti AS dan sekutunya. Dalam buku terbarunya berjudul "Blackwater:The Rise of the World's Most Powerful Mercenary Army", Scahill mengungkap keterlibatan Blackwater, perusahaan jasa pelayanan tentara bayaran dan persenjataan swasta terbesar di AS dengan para theocon dan pasukan milisi Kristen Sovereign Military Order of Malta di berbagai wilayah konflik di dunia.

Scahill dalam bukunya menulis, perusahaan yang berbasis di Carolina Utara ini, memimpikan perusahaan mereka menjadi perusahaan jasa kurir semacam FedEx, bagi operasi-operasi pertahanan dan keamanan AS. Dan mimpi itu nampaknya sudah terwujud karena saat ini Blackwater, sudah mendapatkan kontrak terkait aktivitas perang di Irak dari pemerintah AS yang nilainya mencapai 500 juta dollar AS. Angka ini belum termasuk "anggaran rahasia" pemerintah AS untuk kontrak-kontrak antara Blackwater dengan agen-agen intelejen AS.

Blackwater juga mendapat kontrak dari Departemen Luar Negeri AS sebesar 300 juta dollar. Pada tahun 2003, perusahaan jasa tentara bayaran ini bahkan mendapat kontrak tanpa melalui tender dari Deplu AS untuk operasi perlindungan terhadap Paul Bremer, wakil pemerintah AS di Irak.

Blackwater menurut Scahill, mengerahkan ribuan tentara yang sangat terlatih ke Irak dan Aghanistan. Empat tentara bayarannya-yang oleh media massa disebut sebagai pasukan AS-pernah menjadi korban penyergapan pejuang Irak pada tahun 2004. Keempat tentara itu dibunuh dengan cara dibakar dan tubuhnya digantung selama berjam-jam di sebuah jembatan di kota Fallujah. Peristiwa inilah yang memicu aksi serangan besar-besaran "pasukan" AS ke kota itu.

Mengatasnamakan Demokrasi dan Kebebasan

Perusahaan Blackwater didirikan pada tahun 1996 dan menjadi salah satu perusahaan jasa militer swasta terbesar di dunia. Perusahaan ini, menurut Scahill, memiliki 20 pesawat tempur dan 20 ribu tentara yang siap dikirim kapan saja sesuai pesanan.

Kantor Akuntabilitas Pemerintah AS melaporkan, perusahaan-perusahaan kontraktor swasta, seperti Blackwater, merupakan "kekuatan" kedua AS di Irak. Saat ini, sedikitnya ada 48 ribu tentara bayaran yang beroperasi di Negeri 1001 Malam itu, dan jumlah tentara bayaran yang tewas tidak masuk dalam data Pentagon.

Pendiri dan pemimpin Blackwater adalah Erik Prince. Prince, tulis Scahill, adalah seorang pendukung perang salib modern, sangat kaya dan sumber uang utama bagi Presiden George. W Bush. Sejak 1998, Prince mendonasikan sekitar 200 ribu dollar untuk kandidat presiden dari Partai Republik.

Scahill dalam bukunya juga menulis, Prince menunjukkan "betapa kuatnya secara politik, kalangan fundamentalis Kristen dan Neocon dalam melakukan tekanan bagi pertempuran mereka, dengan mengatasnamakan 'kebebasan' dan 'demokrasi'. " Prince juga punya koneksi dengan kelompok-kelompok Kristen konservatif dan ikut membiayai organisasi-organisasi sayap kiri lewat yayasan Freiheit Foundation.

Prince, menurut Scahill, selalu mengaitkan misi-misi perusahaannya dengan gerakan theocon, istilah bagi orang-orang yang menganut ideologi konservatif berdasarkan pada keyakinan bahwa agama seharusnya memegang peranan penting dalam membuat keputusan publik.

"Setiap orang membawa senjata, seperti Nabi Jeremiah membangun kembali kuil di Israel-pedang di tangan yang satu dan kulir di tangan satunya lagi, " demikian pernyataan yang pernah dilontarkan Prince.

Menurut ensiklopedi Wikipedia, istilah theocon mengacu pada anggota-anggota sayap Kristen, khususnya mereka yang menganut ideologi sintesis elemen-elemen seperti paham konservatisme sosial dan kalangan orang-orang Amerika serta kalangan penganut Kristen konservatif. Mereka mengekpresikan pahamnya itu melalui medium politik.

Penulis Jacob Heilbrunn dalam artikelnya berjudul "Neocon vs Theocon" pada tahun 1996 menyatakan bahwa, "Para theocon, juga beragumentasi bahwa Amerika berakar pada ide tersebut, namun mereka meyakini bahwa ide itu sebenarnya ide-ide kekristenan. "

Ideologi Perang Salib

Schahill, dalam bukunya juga mengupas tentang keterlibatan para eksekutif di Blackwater sebagai anggota dari milisi sebuah ordo dalam keyakinan Kristen bernama Sovereign Military Order of Malta.

"Sejumlah eksekutif senior Blackwater seperti Joseph Schmitz, bukan hanya penganut fanatis ideologi theocon tapi juga anggota dari Sovereign Miltary Order of Malta, pasukan milisi Kristen yang misinya mempertahankan wilayah-wilayah perang Salib yang berhasil direbut umat Islam, " tulis Scahill.

Sebelum bergabung dengan Blackwater sebagai Kepala Operasi dan anggota Dewan Umum pada tahun 2005, Schmitz mengatur semua kontrak operasi militer di Irak dan Afghanistan. Schmitz, kata Scahill, adalah mantan inspektur jenderal di Pentagon di tahun-tahun pertama perang AS di Irak.

Terkait milisi Sovereign Military Order of Malta, Scahill menjelaskan, pasukan milisi ini awalnya adalah organsisasi sosial Kristen di Al-Quds, muncul pada tahun 1080, yang tugasnya memberikan bantuan bagi warga miskin dan peziarah yang datang ke Kota Suci itu, yang menderita sakit.

Setelah penaklukan Al-Quds pada 1095-era Perang Salib pertama- organisasi ini menjadi Ordo Militer Katolik. Dan setelah umat Islam berhasil merebut Al-Quds, Ordo ini beroperasi dari wilayah Rhodesia, kemudian pindah ke Malta, di bawah kekuasaan kaum Sicilia di Spanyol.

Para anggota Ordo Militer Katolik ini dikenal sebagai "Pejuang Sukarelawan" yang membantu pasukan Perang Salib menyerang negara-negara Muslim yang berada di sepanjang pesisir Italia, termasuk Tunisia, Libya dan Maroko.

Ordo Soverign Military Order of Malta, sekarang memiliki negara sendiri bernama Malta yang berlokasi di Roma dan diakui oleh sekitar 50 negara di dunia. Sampai sekarang, Ordo ini diduga masih melakukan misi-misi misionaris di negara-negara yang sedang dilanda konflik, seperti Darfur di Sudan, dengan berkedok sebagai organisasi bantuan sosial.

Para anggota Ordo, ini disumpah, dan sumpahnya berbunyi, "Saya akan melengkapi diri saya sendiri dengan senjata dan amunisi, bahwa saya harus siap sedia ketika mendapat perintah, atau ketika saya dikomando untuk membela gereja, baik secara individu maupun dengan pasukan milisi Paus. " (ln/iol)

eramuslim.com, Selasa, 1 Mei 07 12:34 WIB