Wednesday, July 11, 2007

Sisi Lain Kasus Masjid Merah

Rabu, 11 Juli 2007

Akar konflik Masjid Merah dan pemerintah telah berjalan lama. Namun, faktanya, Musharraf mengeluarkan tuduhan Al-Qaidah. Untuk melegalkan serangan?

Hidayatullah.com—"Kejahatan kita tidak seberapa dan tidak seharusnya dihukum seberat ini," demikian jawaban ulama yang juga pemimpin Masjid Merah, Maulana Abdul Rashid Ghazi sebelum dikabarkan ikut meninggal oleh serangan pasukan Pakistan sebelum ini.

Meskipun demikian, dirinya mengaku tak akan tunduk di bawah naungan pemerintahan Musyarraf yang diakuinya telah keluar dari syariah Islam. ”Sejumlah menteri melakukan kontak telepon kepada saya supaya menyerah. Akan tetapi, kepada mereka saya mengatakan tak akan menyerah dan siap mati," ujarnya dikutip sebuah media Iran.

Ghazi adalah tokoh utama sekolah Islam yang satu kompleks dengan masjid utama yang dikenal sebagai Masjid Merah. Letak sekolah itu sendiri berada disamping masjid.

Kasus pengepungan Masjid Merah sesungguhnya bermula sudah cukup lama. Setidaknya, dimulai dengan memburuknya hubungan antara pihak pemerintah (diwakili Presiden Pervez Musharraf) dan Maulana Abdul Rashid Ghazi di pihak lain akibat perbedaan pandangan.

Beberapa bulan sebelum terjadinya kasus pengepungan areal masjid dan sekolah Islam itu, hubungan pemerintah Pakistan dengan jamaah masjid Merah sangat buruk yang akhirnya berujung serbuan yang menewaskan 160 santri kemarin.

Sebagaimana diketahui, ulama dan santri menuduh pemerintah Pakistan telah keluar dari Islam. Maulana Abdul Rashid menganggap, Musharraf adalah pemerintahan yang thahgut.

Harap tahu, Masjid Merah adalah masjid yang menjadi basis bagi penegakan syariah Islam di pakistan. Para ulama dan santri di Masjid Merah menganggap, berbagai tindakan Musharraf –khususnya hubungannya dengan AS—telah keluar dari Islam. Itu ditandai kedekatan Musharraf dengan Amerika, yang setidaknya telah banyak mengorbankan warga Muslim negeri itu. Tak sedikit para santri, ulama atau aktivis Islam sudah diserahkan Musharraf ke Amerika dan selanjutnya dibawah ke Guantanamo dengan alasan ’kampanye melawan teror’ nya Amerika.

Hubungan itu terus memburuk, sampai pada desakan pihak ulama Masjid Merah agar Mushararraf menerima pengadilan Syariah. Musharraf yang sejak awal seorang militer dan lebih dekat dengan Amerika tentu saja menolak. Suasana kian meruncing, tatkala aparat Pakistan melakukan penghancuran tujuh masjid dengan alasan ilegal. Sejak itu suasana ini menjadi makin panas hingga berujung pada pengepungan masjid tanggal 3 Juli 2007.

Sebaliknya, para santri dan pengasuh menilai, dirinya, kini, telah berhadapan dengan pemerintah Pakistan yang dan wajib hukumnya melancarkan aksi-aksi perlawanan yang dinilainya sebagai amar ma'ruf nahi munkar dan berakhir dengan yang berakhir meninggalnya 160 santri itu.

Simpati Barat

Entah karena ingin mencari simpati pada dunia atau ingin mendapat pujian Amerika, tiba-tiba Pakistan menyelesaikan konflik ini dengan menyeret pada stigma Al-Qaidah, tuduhan paling mudah untuk mebolehkan membunuh kaum Muslim.

Sebagaimana dikutip AFP, aparat menuduh di belakang Masjid Merah ada organisasi Harkatul-Jihad-e-Islami, (Gerakan Perang Suci Islam), salah satu organisasi Islam yang dikait-kaitkan AS dengan Al-Qaidah. Menariknya, penyebutan kelompok itupun masih pada taraf kecurigaan. Artinya, belum jelas benar.

"Kami yakin di sana ada militan dari Harkatul-Jihad-e-Islami, yang terlibat pembunuhan Pearl. Berdasarkan intelijen, kami mencurigai bahwa dua orang komandan kelompok itu ada di dalam," kata seorang pejabat tinggi kepada AFP yang tak mau disebut namanya.

Ghalibnya, berbagai media massa Barat (bahkan juga ditiru media Indonesia) ikut ramai-ramai mengamini tanpa melihat akar masalah. Penyebutan istilah radikal, aliran keras, seolah membolehkan membunuh banyak orang secara seenaknya.

Sejumlah anggota legislatif dan akademisi menuding Musharraf tutup mata terhadap upaya para ulama di Masjid Merah dalam bidang pendidikan. Mereka menilai peristiwa ini sebagai upaya Musharraf untuk mengalihkan perhatian rakyat dari isu-isu pemerintah yang lebih penting.

Karena itu, para pemimpin oposisi Pakistan mendesak Presiden Pervez Musharraf untuk mengundurkan diri dari jabatannya. Mereka juga mendesak pemerintah untuk mengizinkan mantan Perdana Menteri Benazir Bhutto dan Nawaz Sharif agar dapat kembali pulang ke negaranya.

Dalam pernyataan bersama di sebuah konferensi di London, Inggris, para pemimpin oposisi menyatakan peraturan militer Presiden Musharraf terbukti telah membawa Pakistan ke jurang kehancuran, perpecahan dan kerusuhan. Parlemen Pakistan sendiri sudah dipinggirkan dan tidak punya kekuatan lagi.

Konferensi yang dihadiri 38 perwakilan partai itu mendesak Presiden Musharraf mundur dari jabatannya. Pervez Musharraf mulai berkuasa sejak 1999 dalam sebuah kudeta yang menyingkirkan Nawaz Sharif. Ia kemudian menyatakan dirinya sebagai presiden tahun 2001.

Sementara itu, Mantan Perdana Menteri Pakistan Nawaz Sharif menuntut Musharraf mengundurkan diri menyusul meningkatnya instabilitas dan banyaknya upaya pembunuhan terhadap Musharraf.

"Dia harus mundur. Jika tidak, 160 juta penduduk Pakistan akan memaksa dia mundur," kata Sharif di sela-sela sebuah konferensi di London, Inggris, Sabtu. Sharif juga menyerukan digelarnya pemilu baru di bawah sebuah pemerintahan sementara yang tidak melibatkan Musharraf.

Musharraf menghadapi instabilitas yang semakin meningkat dalam beberapa bulan terakhir, termasuk pendudukan Masjid Merah, serangan kelompok Islam, dan gelombang protes akibat kebijakannya memecat hakim agung.

Instabilitas itu memicu spekulasi bahwa Musharraf akan mendongkrak dukungan meMerahui kesepakatan pembagian kekuasaan dengan Mantan Perdana Menteri Benazir Bhuto dan Partai Rakyat Pakistan yang dipimpinnya.

Sebaliknya, tokoh-tokoh opisisi Pakistan berpendapat lain. Seorang tokoh oposisi menilai, tindakan Musharraf hanya ingin menunjukkan pada Barat (baca Amerika) bahwa Pakistan bisa menanggulangi kelompok Islam.

"Pemerintahan Musharraf yakin semua persoalan bisa diselesaikan dengan kekuatan militer dan peluru, tidak peduli apa reaksi yang muncul. Pemerintah sengaja mengangkat isu ini, kemudian melancarkan operasi berdarah, untuk menunjukkan pada Barat bahwa dia mampu mengatasi masalah militansi, " ujar Qazi Hussein Ahmed, Presiden Muttehida Majlis-e-Amal (MMA), aliansi partai-partai Islam yang menjadi oposisi. Andai tengarai Hussein Ahmed itu benar, maka, sebegitukah ongkos yang harus ditunjukkan oleh para penguasa sebagai bentuk kesetiaan kepada Amerika? [cha, berbagai sumber/www.hidayatullah.com]

Al Ghazi: Ulama yang Pernah Bekerja Untuk “Barat”

Rabu, 11 Juli 2007

Tokoh utama yang ikut tewas oleh serangan aparat Pakistan adalah, Maulana Abd Rasyid Al Ghazi. Siapakah sesungguhnya dia? Mengapa bisa membawa senjata?

Hidayatullah.com--Abdur Rasyid Al Ghazi sejak kecil memang telah menghafal Al Qur’an, akan tetapi ia enggan untuk melanjutkan sekolah diniyah dan memilih untuk menjalani pendidikan tingkat SMU di sekolah pemerintah. Ayahnya, Abdullah sebenarnya menginginkan agar ia bisa menjadi penggantinya kelak, seperti kakaknya Abdul Aziz.

Akan tetapi ia cenderung memilih sekolah umum. Ia pernah mencoba untuk mengikuti pendidikan di Jami’ah Al Faridiyah yang berada satu komplek dengan Masjid Merah, tapi tidak lama kemudian ia keluar dan melanjutkan ke salah satu universitas negeri di Karachi hingga memperoleh gelar master dalam bidang sejarah dan fasih dalam bahasa Inggris.

Tak lama setelah itu, ia menjadi pegawai yang berada dibawah Kementrian Pendidikan, dan bahkan kemudian bekerja di salah satu badan PBB yang bergerak dalam bidang pendidikan (UNESCO).

Baru setelah ayahnya Abdullah dibunuh karena alasan agama tahun 1998, sifat Al Ghazi berubah total. Ia bahkan begitu perhatian dengan isu-isu keagamaan. Ia bahkan mulai berkhutbah di masjid. Itulah yang membuat kakaknya Syaikh Abdul Aziz bergembira dan menunjuknya sebagai wakil imam di Masjid Merah walau ia masih tetap menjadi pegawai pemerintah.

Nama Abdul Rasyid Al Ghazi tambah berkibar sebagai tokoh agama di media-media masa pada tahun 2001. Terutama, ketika kelompok-kelompok Muslim mendirikan ”Gerakan Pembela Afghanistan” untuk merespon serangan Amerika ke Afghanistan.

Ia juga sebagai salah satu tokoh penting yang berada di balik berbagai demonstrasi yang terjadi di Pakistan sebagai penentangan atas serangan Amerika ke Afghanistan pada waktu itu.

Sejak saat itu, namanya terus dikenal. Sampai-sampai, beberapa pihak, tepatnya tahun 2004 terjadi usaha percobaan pembunuhan terhadap dirinya dan kelompoknya. Akibat seringnya terjadi usaha pembunuhan, menyebabkannya selalu menaruh senapan Klasenkov buatan Rusia di dalam mobilnya. Kemungkinan, pembunuhan sang ayah, telah ikut mengilhaminya hingga untuk selalu membawa senapan ke manapun saat pergi dengan pengawalan teman-temannya. Apalagi di tempat itu, senjata sisa perang Afghan masih mudah di dapat. Yang sedikit orang tahu, Al Ghazi, adalah pejuang tegakknya syariah Islam di Pakistan. Yang, tentu saja paling kurang diinginkan Barat. [IoL/Toriq/www.hidayatullah.com]

160 Santri Tewas oleh Serbuan Aparat Pakistan


Cetak halaman ini Kirim halaman ini melalui E-mail
Rabu, 11 Juli 2007
Aparat Pakistan akhirnya menyerbu Masjid Merah. Tak ayal, puluhan santri sekitar 169 orang lebih tewas oleh terjangan senjata

Hidayatullah.com—Aparat keamanan Pakistan akhirnya menyelesaikan persoalan berkaitan dengan Masjid Merah (Lal Masjid) dengan harus menewaskan 160 santri, termasuk pemimpin kharismatik sekolah Islam Maulana Abdul Rashid Ghazi.

Sebagaimana diketahui, pasukan pemerintah yang sudah sepekan mengepung masjid itu nekat menyerbu madrasah yang terhubung di sampingnya. Pasukan pemerintah melancarkan serangan menjelang fajar kemarin. Namun, hingga sepuluh jam setelah penyerbuan, pasukan pemerintah belum berhasil menangkap santri yang bercokol di masjid tersebut.

"Kelompok pertama yang dibebaskan para santri adalah 50 perempuan. Mereka tiba-tiba muncul menyusul 26 anak yang melarikan diri," kata Khalid Pervez, pejabat senior pemerintah kota Islamabad.

Menurut salah seorang pejabat militer yang tidak mau menyebutkan identitasnya, istri dan anak perempuan Maulana Abdul Aziz termasuk dalam kelompok sandera yang dibebaskan. Aziz adalah saudara laki-laki ulama Abdul Rashid Ghazi sekaligus pemimpin Masjid Lal yang melarikan diri dengan mengenakan burqa pada hari kedua krisis.

Operasi pembebasan sandera tersebut mendapatkan perlawanan hebat dari kelompok santri yang bersembunyi di dalam masjid. Jubir militer Mayjen Waheed Arshad mengatakan, baku tembak berlangsung menegangkan. "Untuk menghindari terjadinya kerusakan parah, kami melakukan aksi tersebut secara bertahap. Kami memasuki kamar satu per satu," terang Arshad dalam konferensi pers kemarin.

Namun rencana itu berubah saat Presiden Pakistan, Pervez Musharraf mengizinkan pasukannya melancarkan aksi militer ke masjid tersebut setelah pihak pemerintah menganggap upaya perundingan gagal. Beberapa menit sebelum penyerbuan, mantan PM Chaudhry Shujaat Hussain menegaskan bahwa perundingan dengan Ghazi tidak membuahkan hasil.

"Perundingan gagal karena Ghazi meminta disediakan jalur aman untuk santri asing," lapor Menteri Agama Ijaz-ul Haq.

Ulama senior Rehmatullah Khalil yang terlibat dalam negosiasi tersebut menuding Musharraf sebagai biang kegagalan tersebut. Menurut dia, pemimpin 63 tahun itu telah menyabotase draf kesepakatan yang disusun sebelumnya. Sebenarnya Hussain telah merancang kesepakatan yang diyakini akan disetujui Ghazi.

"Kami senang mendengar rancangan itu dan berharap bisa memberikan kabar baik kepada masyarakat. Tapi, pemerintah kemudian mengubah hampir seluruh isi rancangan tersebut," tuturnya kemarin.

Tak pelak, bentrokan terjadi. Santri yang bersenjata peluncur roket dan senapan mesin memindahkan Ghazi dan beberapa sandera ke sebuah kamar di lantai dasar.

Senangkan Barat

Keputusan Musharraf menyerbu masjid yang berada di jantung kota Islamabad tersebut disambut hangat sejumlah pakar politik. Sebab, menurut mereka, pemimpin pro-Amerika Serikat (AS) itu dihadapkan pada pilihan yang sama-sama sulit. Yaitu, bertahan di luar masjid dengan konsekuensi akan menghadapi ancaman teror pada masa-masa mendatang atau menggempur mereka dan menghadapi pertumpahan darah.

Karena itu, keputusan yang diambil Musharraf sudah tepat untuk mencegah terjadinya ancaman serupa pada masa yang akan datang. "Gejala ekstremisme di Pakistan sudah lebih nyata daripada ancaman semata. Gejala tersebut sudah mulai menggerogoti keamanan internal negeri ini," papar Rasool Bakhsh Raees, profesor ilmu politik di Lahore University of Management and Sciences yang pro pemerintah.

Munculnya krisis Masjid Lal secara tidak langsung telah menjadikan Musharraf sebagai pusat perhatian. Bagaimanapun, Musharraf dikenal sekutu dekat Presiden AS George W. Bush dalam perang antiteror global. Karena itu, ada anggapan, keputusan menyerang –meski itu mengorbakan rakyatnya sendiri—lebih baik dibanding reputasinya jatuh di mata Amerika.

"Jika pemerintah meluluskan permintaan Ghazi, citra Musharraf di mata negara-negara Barat akan hancur," papar Tauseef Ahmed, salah seorang dosen di Urdu University, Karachi.

Sementara itu, hingga hari ini tidak jelas benar, bagaimana sekolah Islam dan para santri itu bisa melawan aparat dengan menggunakan senjata. Dan tak satupun media -khususnya Barat-- secara kritis melakukan investigasi, dari mana sumber-sumber senjata itu diperoleh atau dipasok.

Harap tahu saja, santri Masjid Merah dikenal kuat mengkampanyekan syariah Islam. Namun media Barat –sebagaimana biasa diikuti serempak pers Indonesia tanpa seleksi—semua langsung menuduh seolah-olah mereka adalah kelompok militan dan kelompok radikal yang layak ditembaki. [cha, berbagai sumber/www.hidayatullah.com]

Thursday, July 5, 2007

Menhan Australia Buka Rahasia, Invasi ke Irak Motifnya Memang Minyak


Pengakuan Australia makin menguatkan dugaan tentang apa sebenarnya motif invasi AS dan koalisinya ke Irak. Untuk pertama kalinya, Negeri Kanguru mengakui bahwa minyaklah yang menjadi motif keikutsertaan mereka dalam invasi AS ke Negeri 1001 Malam itu.

Pengakuan tersebut dilontarkan oleh Menteri Pertahanan Australia Brendan Nelson, Kamis (5/7). Pada Australian Broadcasting Corporation ia mengatakan bahwa "pengamanan energi" adalah salah satu prioritas Australia mendukung invasi AS ke Irak.

Pernyataan Nelson makin menguatkan argumen para aktivis anti-perang yang meyakini bahwa invasi AS ke Irak tahun 2003 hingga hari ini, bertujuan untuk menguasai hasil minyak bumi Irak dan bukan untuk memberangus ancaman senjata pemusnah massal rejim Sadaam Hussein. Apalagi setelah itu terbukti tidak ada ancaman tersebut.

"Kenyataannya, bukan hanya Irak, tapi seluruh kawasanTimur Tengah adalah penyedia sumber energi yang penting bagi dunia, khususnya bahan bakar minyak, " ujar Nelson.

"Sangat penting bagi Australia untuk memandang bahwa itu juga menjadi kepentingan kita, untuk kepentingan keamanan kita, untuk memastikan bahwa kami berada di Timur Tengah, utamanya di Irak dalam posisi untuk menopang keamanan kami, " sambungnya.

Selain itu, kata Nelson, sangat penting bagi Australia untuk mendukung "pengaruh" AS dan Inggris. "Kami berada di sana juga untuk mendukung sekutu-sekutu utama kami yaitu AS, dan kami berada di sana untuk memastikan bahwa kami tidak akan terkena dampak terorisme akibat perang di Irak yang bisa mengganggu stabilitas wilayah kami, " imbuhnya.

Apa yang diungkapkan Nelson sangat bertolak belakang dengan pernyataan PM Australia John Howard saat invasi ke Irak Februari 2003 lalu. Saat itu Howard membantah bahwa motif invasi itu terkait minyak. Sama dengan sekutunya Presiden AS George W. Bush, Howard mengatakan bahwa invasi dilakukan terkait dengan ancaman senjata pemusnah massal yang dibuat rejim Saddam Hussein, pemimpin Irak saat itu. (ln/aljz)

eramuslim, Kamis, 5 Jul 07 14:49 WIB