Wednesday, July 11, 2007

160 Santri Tewas oleh Serbuan Aparat Pakistan


Cetak halaman ini Kirim halaman ini melalui E-mail
Rabu, 11 Juli 2007
Aparat Pakistan akhirnya menyerbu Masjid Merah. Tak ayal, puluhan santri sekitar 169 orang lebih tewas oleh terjangan senjata

Hidayatullah.com—Aparat keamanan Pakistan akhirnya menyelesaikan persoalan berkaitan dengan Masjid Merah (Lal Masjid) dengan harus menewaskan 160 santri, termasuk pemimpin kharismatik sekolah Islam Maulana Abdul Rashid Ghazi.

Sebagaimana diketahui, pasukan pemerintah yang sudah sepekan mengepung masjid itu nekat menyerbu madrasah yang terhubung di sampingnya. Pasukan pemerintah melancarkan serangan menjelang fajar kemarin. Namun, hingga sepuluh jam setelah penyerbuan, pasukan pemerintah belum berhasil menangkap santri yang bercokol di masjid tersebut.

"Kelompok pertama yang dibebaskan para santri adalah 50 perempuan. Mereka tiba-tiba muncul menyusul 26 anak yang melarikan diri," kata Khalid Pervez, pejabat senior pemerintah kota Islamabad.

Menurut salah seorang pejabat militer yang tidak mau menyebutkan identitasnya, istri dan anak perempuan Maulana Abdul Aziz termasuk dalam kelompok sandera yang dibebaskan. Aziz adalah saudara laki-laki ulama Abdul Rashid Ghazi sekaligus pemimpin Masjid Lal yang melarikan diri dengan mengenakan burqa pada hari kedua krisis.

Operasi pembebasan sandera tersebut mendapatkan perlawanan hebat dari kelompok santri yang bersembunyi di dalam masjid. Jubir militer Mayjen Waheed Arshad mengatakan, baku tembak berlangsung menegangkan. "Untuk menghindari terjadinya kerusakan parah, kami melakukan aksi tersebut secara bertahap. Kami memasuki kamar satu per satu," terang Arshad dalam konferensi pers kemarin.

Namun rencana itu berubah saat Presiden Pakistan, Pervez Musharraf mengizinkan pasukannya melancarkan aksi militer ke masjid tersebut setelah pihak pemerintah menganggap upaya perundingan gagal. Beberapa menit sebelum penyerbuan, mantan PM Chaudhry Shujaat Hussain menegaskan bahwa perundingan dengan Ghazi tidak membuahkan hasil.

"Perundingan gagal karena Ghazi meminta disediakan jalur aman untuk santri asing," lapor Menteri Agama Ijaz-ul Haq.

Ulama senior Rehmatullah Khalil yang terlibat dalam negosiasi tersebut menuding Musharraf sebagai biang kegagalan tersebut. Menurut dia, pemimpin 63 tahun itu telah menyabotase draf kesepakatan yang disusun sebelumnya. Sebenarnya Hussain telah merancang kesepakatan yang diyakini akan disetujui Ghazi.

"Kami senang mendengar rancangan itu dan berharap bisa memberikan kabar baik kepada masyarakat. Tapi, pemerintah kemudian mengubah hampir seluruh isi rancangan tersebut," tuturnya kemarin.

Tak pelak, bentrokan terjadi. Santri yang bersenjata peluncur roket dan senapan mesin memindahkan Ghazi dan beberapa sandera ke sebuah kamar di lantai dasar.

Senangkan Barat

Keputusan Musharraf menyerbu masjid yang berada di jantung kota Islamabad tersebut disambut hangat sejumlah pakar politik. Sebab, menurut mereka, pemimpin pro-Amerika Serikat (AS) itu dihadapkan pada pilihan yang sama-sama sulit. Yaitu, bertahan di luar masjid dengan konsekuensi akan menghadapi ancaman teror pada masa-masa mendatang atau menggempur mereka dan menghadapi pertumpahan darah.

Karena itu, keputusan yang diambil Musharraf sudah tepat untuk mencegah terjadinya ancaman serupa pada masa yang akan datang. "Gejala ekstremisme di Pakistan sudah lebih nyata daripada ancaman semata. Gejala tersebut sudah mulai menggerogoti keamanan internal negeri ini," papar Rasool Bakhsh Raees, profesor ilmu politik di Lahore University of Management and Sciences yang pro pemerintah.

Munculnya krisis Masjid Lal secara tidak langsung telah menjadikan Musharraf sebagai pusat perhatian. Bagaimanapun, Musharraf dikenal sekutu dekat Presiden AS George W. Bush dalam perang antiteror global. Karena itu, ada anggapan, keputusan menyerang –meski itu mengorbakan rakyatnya sendiri—lebih baik dibanding reputasinya jatuh di mata Amerika.

"Jika pemerintah meluluskan permintaan Ghazi, citra Musharraf di mata negara-negara Barat akan hancur," papar Tauseef Ahmed, salah seorang dosen di Urdu University, Karachi.

Sementara itu, hingga hari ini tidak jelas benar, bagaimana sekolah Islam dan para santri itu bisa melawan aparat dengan menggunakan senjata. Dan tak satupun media -khususnya Barat-- secara kritis melakukan investigasi, dari mana sumber-sumber senjata itu diperoleh atau dipasok.

Harap tahu saja, santri Masjid Merah dikenal kuat mengkampanyekan syariah Islam. Namun media Barat –sebagaimana biasa diikuti serempak pers Indonesia tanpa seleksi—semua langsung menuduh seolah-olah mereka adalah kelompok militan dan kelompok radikal yang layak ditembaki. [cha, berbagai sumber/www.hidayatullah.com]

No comments: