Wednesday, January 23, 2008

Rp 100 Miliar, Biaya Iklan Calon Presiden

Kamis, 24 Januari 2008 | 00:03 WIB

TEMPO Interaktif, Jakarta: Biaya iklan media untuk kampanye politik Pemilihan Umum 2009 dipastikan meningkat dibanding lima tahun sebelumnya. Menurut Hotline Advertising, setidaknya ongkos iklan bakal naik hingga 70 persen.

“Dulu (Pemilu 2004) biaya iklan kampanye Rp 60-100 miliar per calon, sekarang ya minimal setiap calon harus menyiapkan Rp 100 miliar,” kata Associate Media Director Hotline Advertising Zainul Muhtadin kepada Tempo Selasa lalu di Jakarta.

Menurut dia, televisi masih akan menjadi pilihan utama penempatan iklan kampanye. Sekitar 90 persen target audiens bisa di-cover oleh televisi.

Zainul mengakui ada dua calon presiden pada Pemilu 2009 sudah mendekati biro iklan. Agensi-agensi iklan lainnya juga diundang untuk membicarakan kemungkinan pemesanan iklan kampanye. Tapi Hotline belum meneken kesepakatan apapun dengan partai atau calon presiden.

Hotline masih menunggu kepastian bekas klien pada Pemilu 2004, yakni Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. “Ini hanya soal etika.” Hotline juga menggarap iklan politik Fauzi Bowo-Syamsul Arifin dalam Pemilihan Gubernur DKI Jakarta tahun lalu.

Sebelumnya, Nielsen Media Research memperkirakan kampanye politik untuk Pemilu 2009 bakal mendongkrak belanja iklan 2008. Nielsen pun memprediksi aktivitas kampanye lewat media massa dimulai tahun ini. Business Development Nielsen Maika Randini mengatakan,kampanye organisasi politik menjelang Pemilu 2004 ikut mendorong kenaikan belanja iklan 2003. (Koran Tempo, 23 Januari)

Peningkatan biaya iklan kampanye juga diungkap oleh Euro RSCG AdWork dan Matari Advertising. Tapi keduanya menolak menyebut prosentase kenaikan, apalagi jumlah rupiahnya.

Adwork yang menjadi agensi penggarap kampanye pencalonan Megawati Soekarnoputri pada Pemilu 2004 lalu menilai kenaikan biaya penempatan iklan di media massa menjadi alasan utama naiknya harga pemesanan iklan. “Apalagi cost untuk sumber daya manusia harus terus meningkat,” ujar Account Director Adwork Doni Herdianto kemarin.

Media Director Matari Veronica Lianawati berpendapat bahwa harga iklan sangat dipengaruhi oleh pencapaian yang ditargetkan pengiklan. “Masing-masing kasus tentu berbeda.”

Namun, tak semua agensi membuka pintu untuk iklan politik. PT Lowe Indonesia, misalnya. Kebijakan ini datang dari induk Lowe di Inggris. “Mungkin berhati-hati untuk menghindari muatan politis,” ucap Presiden Direktur Lowe Indonesia FX Ridwan Handoyo.

Agoeng Wijaya

tempointeraktif.com


Masjid Ghaza Serukan Puasa dan Qiyamul Lail

Ghaza masih diselimuti gelap pekat di malam hari. Tapi suara keramaian terdengar jelas dari masjid-masjid. Bukan keramaian yang tidak bermakna, tapi keramaian dari lirih do’a yang diucapkan Muslim Ghaza yang terkurung oleh kekejaman isolasi dan pengepungan penjajah dan perampok Zionis Israel.

Masjid-masjid, mengangkat suara-suara yang semuanya menyerukan kata-kata yang hampir sama: puasalah.. shalatlah.. Ghaza berdo’a.. do’a adalah senjata kaum beriman.. “ Dan hari Senin kemarin pun, banyak masyarakat Muslim Ghaza yang berpuasa sambil lisan mereka terus mengucapkan, “Allahumma aghits Ghazah.. “ Ya Allah, selamatkanlah Ghaza..

Kegelapan terus mereka alami terutama di malam hari, setelah Israel memutus aliran listrik utama yang masuk ke Ghaza. Setelah sebelumnya Israel menutup perbatasan secara lebih ketat. Kekejaman Israel ini diprediksi akan memunculkan bencana kemanusiaan yang dahsyat di Ghaza.

Puasa, mungkin menjadi senjata yang paling dipilih kaum Muslimin Ghaza untuk hari-hari sulit dan keras ini. Berdasarkan laporan Islamonline, hampir setiap rumah di Ghaza terdapat orang yang tengah berpuasa di hari Senin kemarin, Ikhlash karena Allah untuk menguatkan hati mereka dan terus melantunkan do’a. “Mereka berniat puasa dan shalat malam meminta pada Allah agar pengepungan Ghaza segera dicabuta oleh Allah. Inilah yang paling mungkin kami lakukan saat ini, ” ujar seorang penduduk Ghaza. (na-str/iol)

eramuslim.com

Thursday, August 2, 2007

Australia Bantu 2000 Sekolah Islam di Indonesia

Kamis, 02 Agustus 2007

Australia menyisihkan 2,5 trilyun mendanai sekolah dan madrasah. Sebelum ini negara Barat minta perubahan kurikulum sekolah Islam. Kampanye terselubung?

Hidayatullah.com--Duta Besar Australia untuk Indonesia dan Sekjen Departemen Agama telah meresmikan 46 madrasah baru sebagai bagian dari program bernilai 29 juta dollar dari Australia.

Upacara peresmian dilakukan Selasa kemarin, dengan dihadiri Duta Besar Australia untuk Indonesia, Bill Farmer, dan Sekjen Departemen Agama RI, Prof Bahrul Hayat. Acara dipusatkan di Madrasah Tsanawiyah (MTs) PSA Al Fauzan di Labruk Lor (Lumajang). Sekolah ini, dibangun dengan bantuan dari Australia. Sekolah Al Fauzan didirikan di atas tanah yang disumbangkan oleh Bupati setempat dan Yayasan Al Fauzan untuk masyarakat umum.

Menurut rencana, pembangunan ke-46 sekolah yang sudah dimulai tahun 2006 dan telah siap untuk tahun ajaran 2007 ini. Sebagaimana ditulis dalam situs resmi Kedubes Australia di Jakarta, tahap berikutnya juga melakukan pekerjaan pembangunan 275 sekolah-sekolah Islam lainnya dan akan dimulai pada minggu-minggu yang akan datang agar dapat dipergunakan pada pertengahan 2008.

Duta Besar Farmer mengatakan bahwa sekolah-sekolah ini adalah bagian dari program Pemerintah Australia senilai Rp2,5 trilyun yang mendanai pembangunan atau pengembangan dari 2000 sekolah di 20 propinsi di Indonesia hingga 2009.

“Dari 2000 sekolah-sekolah ini, 500 diantaranya adalah madrasah, - yang mendemonstrasikan dengan jelas betapa pentingnya sekolah-sekolah Islam bagi sistem pendidikan Indonesia, dan kepahaman Australia akan peran mereka dalam mendidik anak-anak Indonesia,” kata Farmer.

Program konstruksi ini akan menciptakan lebih dari 330.000 tempat baru bagi pelajar sekolah menengah pertama antara usia 13 hingga 15 tahun, dengan sasaran utama anak-anak dari keluarga miskin dan daerah terpencil.

“Australia terus menerus mendukung pendidikan di Indonesia, kami menyadari bahwa hal ini akan meningkatkan kualitas hidup masyarakat secara signifikan,” tambah Farmer.

Sebanyak 330 sekolah menengah pertama lainnya telah dibangun dengan bekerja sama dengan Departemen Pendidikan Nasional. Hingga 1200 sekolah umum dan sekolah Islam diharapkan akan selesai pada pertengahan 2008.

Perubahan Kurikulum

Seperti dikutip situs Radio Australia, Kamis, (2/8), tujuan bantuan Australia itu sebagian untuk mengurangi pengaruh ”Islam radikal” yang menggunakan madrasah sebagai tempat pelatihan ”terorisme”.

Pasca 11 September, sejumlah nagara Barat sangat bersemangat ingin merombak kurikulum madrasah dan pondok pesantren. Australia, diantara negara yang sebelumnya pernah ikut mengusulkan dan mendesak Indonesia.

Sejak tahun 2004 lalu, Pemerintah Australia sudah meluncurkan program Learning Assistance Program for Islamic Schools (LAPIS). Kegiatan program ini difokuskan untuk bekerja dengan madrasah swasta atau MI dan MTs yang berada di daerah kantong kemiskinan serta fokus pada anak-anak miskin dan perempuan.

Selama beberapa tahun ini, sejumlah perwakilan pondok pesantren Indonesia mendapat beasiswa bergantian ke Inggris.

Baru-baru ini, calon presiden Amerika, Barack Obama. Sempat diserang dengan isu 'madrasah'. Barack, yang pernah sekolah di Jakarta, diisukan lulusan madrasah saat tinggal di Indonesia. Kasus ’madrasah’ mencuat setelah Fox News membuat tulisan menuding Barack. Namun, Fox News mendapatkan kritikan luas setelah tidak menunjukkan data dan fakta yang akurat.

Kasus ini sempat membuat pemerintah Indonesia melobi Amerika tentang status madrasah. "Kita terus jelasakan kepada mereka, bahwa madrasah dan pesantren di Indonesia mengacu pada kurikulum nasional, dan mereka bisa mengerti," ujar Menteri Luar Negeri (Menlu) Hassan Wirajuda kepada detikcom usai raker dengan Komisi I DPR, di gedung DPR, bulan Januari di Jakarta.

Sebagian pihak menilai, bantuan seperti ini tidak akan produktif jika masih ada kampanye ”terselubung” Barat untuk mendikte Indonesia dan sekolah-sekolah Islam. Bukan tidak mungkin, bantuan-bantuan seperti ini akan lebih besar di masa mendatang. [cha, berbagai sumber/www.hidayatullah.com]

Strategi Baru AS, Gandeng Arab Saudi

Kamis, 02 Agustus 2007

Arab Saudi telah memberikan dukungan terhadap konferensi perdamaian yang disponsori Amerika Serikat (AS) yang akan diselenggarakan tahun ini

Hidayatullah.com-- Arab Saudi akan menghadiri konferensi yang diseponsori Amemrika itu bersama Israel dan Palestina serta negara-negara Arab lainnya. Kalangan yang diundang ini, tentu yang dipandang ”moderat” oleh Amerika.

Arab Saudi adalah negara yang tidak mempunyai hubungan diplomatik dengan Israel. Namun Saudi termasuk sekutu Amerika Serikat.

Sebelum ini, Menlu Amerika, Condoleeza Rice, mengatakan konfrensi perdamaian ala Amerika itu diharapkan menghidupkan kembali pembicaraan damai yang macet.

Condi, akan bertemu dengan para pemimpin Israel dan Palestina untuk menghidupkan kembali perundingan menyusul pengambil-alihan Jalur Gaza oleh Hamas.

Strategi Baru

AS menjalankan strategi barunya yang dianggap banyak pihak akan menyulut instabilitas baru di Timur tengah. Beberapa waktu lalu, AS memberi bantuan persenjataan senilai milyaran dolar kepada Zionis-Israel dan sejumlah negara-negara Arab. Strategi itu digulirkan bersama dengan propaganda anti-program nuklir Iran.

Para pejabat Gedung Putih berupaya mengklaim bahwa tujuan mereka menandatangani kontrak penjualan senjata dengan sejumlah negara Timur Tengah adalah dalam rangka mengantisipasi program nuklir Iran. Koran New York Times mengutip keterangan para politisi Gedung Putih menulis, pengiriman persenjataan dengan kuantitas masif ke Timur Tengah diharapkan dapat mencegah berlanjutnya program nuklir Iran.

AS juga melakukan kontrak penjualan senjata senial 63 milyar dolar dengan Arab Saudi dan lima negara Arab lainnya di Teluk Persia, termasuk Mesir dan Uni Emirat Arab.

Sementara itu, Hamas mengkritik kunjungan Menlu AS itu ke negara-negara Timur Tengah. Mantan Menlu Palestina, Mahmoud Az-Zihar, dalam konferensi persnya kemarin mengkritik kunjungan Rice dan Menteri Pertahanan AS, Robert Gates, ke Timur Tengah, dengan menyatakan, " Sebagaimana terbukti pada pengalaman sebelumnya, kunjungan semacam ini sama sekali tak menguntungkan bangsa Palestina dan menjadikan bangsa ini sebagai korban Washington yang sengaja mengulur waktu."

Dan biasanya, pertemuan-pertemuan seperti itu hanya akan menguntungkan Amerika Serikat (AS). [cha, berbagai sumber/www.hidayatullah.com]

Wednesday, July 11, 2007

Sisi Lain Kasus Masjid Merah

Rabu, 11 Juli 2007

Akar konflik Masjid Merah dan pemerintah telah berjalan lama. Namun, faktanya, Musharraf mengeluarkan tuduhan Al-Qaidah. Untuk melegalkan serangan?

Hidayatullah.com—"Kejahatan kita tidak seberapa dan tidak seharusnya dihukum seberat ini," demikian jawaban ulama yang juga pemimpin Masjid Merah, Maulana Abdul Rashid Ghazi sebelum dikabarkan ikut meninggal oleh serangan pasukan Pakistan sebelum ini.

Meskipun demikian, dirinya mengaku tak akan tunduk di bawah naungan pemerintahan Musyarraf yang diakuinya telah keluar dari syariah Islam. ”Sejumlah menteri melakukan kontak telepon kepada saya supaya menyerah. Akan tetapi, kepada mereka saya mengatakan tak akan menyerah dan siap mati," ujarnya dikutip sebuah media Iran.

Ghazi adalah tokoh utama sekolah Islam yang satu kompleks dengan masjid utama yang dikenal sebagai Masjid Merah. Letak sekolah itu sendiri berada disamping masjid.

Kasus pengepungan Masjid Merah sesungguhnya bermula sudah cukup lama. Setidaknya, dimulai dengan memburuknya hubungan antara pihak pemerintah (diwakili Presiden Pervez Musharraf) dan Maulana Abdul Rashid Ghazi di pihak lain akibat perbedaan pandangan.

Beberapa bulan sebelum terjadinya kasus pengepungan areal masjid dan sekolah Islam itu, hubungan pemerintah Pakistan dengan jamaah masjid Merah sangat buruk yang akhirnya berujung serbuan yang menewaskan 160 santri kemarin.

Sebagaimana diketahui, ulama dan santri menuduh pemerintah Pakistan telah keluar dari Islam. Maulana Abdul Rashid menganggap, Musharraf adalah pemerintahan yang thahgut.

Harap tahu, Masjid Merah adalah masjid yang menjadi basis bagi penegakan syariah Islam di pakistan. Para ulama dan santri di Masjid Merah menganggap, berbagai tindakan Musharraf –khususnya hubungannya dengan AS—telah keluar dari Islam. Itu ditandai kedekatan Musharraf dengan Amerika, yang setidaknya telah banyak mengorbankan warga Muslim negeri itu. Tak sedikit para santri, ulama atau aktivis Islam sudah diserahkan Musharraf ke Amerika dan selanjutnya dibawah ke Guantanamo dengan alasan ’kampanye melawan teror’ nya Amerika.

Hubungan itu terus memburuk, sampai pada desakan pihak ulama Masjid Merah agar Mushararraf menerima pengadilan Syariah. Musharraf yang sejak awal seorang militer dan lebih dekat dengan Amerika tentu saja menolak. Suasana kian meruncing, tatkala aparat Pakistan melakukan penghancuran tujuh masjid dengan alasan ilegal. Sejak itu suasana ini menjadi makin panas hingga berujung pada pengepungan masjid tanggal 3 Juli 2007.

Sebaliknya, para santri dan pengasuh menilai, dirinya, kini, telah berhadapan dengan pemerintah Pakistan yang dan wajib hukumnya melancarkan aksi-aksi perlawanan yang dinilainya sebagai amar ma'ruf nahi munkar dan berakhir dengan yang berakhir meninggalnya 160 santri itu.

Simpati Barat

Entah karena ingin mencari simpati pada dunia atau ingin mendapat pujian Amerika, tiba-tiba Pakistan menyelesaikan konflik ini dengan menyeret pada stigma Al-Qaidah, tuduhan paling mudah untuk mebolehkan membunuh kaum Muslim.

Sebagaimana dikutip AFP, aparat menuduh di belakang Masjid Merah ada organisasi Harkatul-Jihad-e-Islami, (Gerakan Perang Suci Islam), salah satu organisasi Islam yang dikait-kaitkan AS dengan Al-Qaidah. Menariknya, penyebutan kelompok itupun masih pada taraf kecurigaan. Artinya, belum jelas benar.

"Kami yakin di sana ada militan dari Harkatul-Jihad-e-Islami, yang terlibat pembunuhan Pearl. Berdasarkan intelijen, kami mencurigai bahwa dua orang komandan kelompok itu ada di dalam," kata seorang pejabat tinggi kepada AFP yang tak mau disebut namanya.

Ghalibnya, berbagai media massa Barat (bahkan juga ditiru media Indonesia) ikut ramai-ramai mengamini tanpa melihat akar masalah. Penyebutan istilah radikal, aliran keras, seolah membolehkan membunuh banyak orang secara seenaknya.

Sejumlah anggota legislatif dan akademisi menuding Musharraf tutup mata terhadap upaya para ulama di Masjid Merah dalam bidang pendidikan. Mereka menilai peristiwa ini sebagai upaya Musharraf untuk mengalihkan perhatian rakyat dari isu-isu pemerintah yang lebih penting.

Karena itu, para pemimpin oposisi Pakistan mendesak Presiden Pervez Musharraf untuk mengundurkan diri dari jabatannya. Mereka juga mendesak pemerintah untuk mengizinkan mantan Perdana Menteri Benazir Bhutto dan Nawaz Sharif agar dapat kembali pulang ke negaranya.

Dalam pernyataan bersama di sebuah konferensi di London, Inggris, para pemimpin oposisi menyatakan peraturan militer Presiden Musharraf terbukti telah membawa Pakistan ke jurang kehancuran, perpecahan dan kerusuhan. Parlemen Pakistan sendiri sudah dipinggirkan dan tidak punya kekuatan lagi.

Konferensi yang dihadiri 38 perwakilan partai itu mendesak Presiden Musharraf mundur dari jabatannya. Pervez Musharraf mulai berkuasa sejak 1999 dalam sebuah kudeta yang menyingkirkan Nawaz Sharif. Ia kemudian menyatakan dirinya sebagai presiden tahun 2001.

Sementara itu, Mantan Perdana Menteri Pakistan Nawaz Sharif menuntut Musharraf mengundurkan diri menyusul meningkatnya instabilitas dan banyaknya upaya pembunuhan terhadap Musharraf.

"Dia harus mundur. Jika tidak, 160 juta penduduk Pakistan akan memaksa dia mundur," kata Sharif di sela-sela sebuah konferensi di London, Inggris, Sabtu. Sharif juga menyerukan digelarnya pemilu baru di bawah sebuah pemerintahan sementara yang tidak melibatkan Musharraf.

Musharraf menghadapi instabilitas yang semakin meningkat dalam beberapa bulan terakhir, termasuk pendudukan Masjid Merah, serangan kelompok Islam, dan gelombang protes akibat kebijakannya memecat hakim agung.

Instabilitas itu memicu spekulasi bahwa Musharraf akan mendongkrak dukungan meMerahui kesepakatan pembagian kekuasaan dengan Mantan Perdana Menteri Benazir Bhuto dan Partai Rakyat Pakistan yang dipimpinnya.

Sebaliknya, tokoh-tokoh opisisi Pakistan berpendapat lain. Seorang tokoh oposisi menilai, tindakan Musharraf hanya ingin menunjukkan pada Barat (baca Amerika) bahwa Pakistan bisa menanggulangi kelompok Islam.

"Pemerintahan Musharraf yakin semua persoalan bisa diselesaikan dengan kekuatan militer dan peluru, tidak peduli apa reaksi yang muncul. Pemerintah sengaja mengangkat isu ini, kemudian melancarkan operasi berdarah, untuk menunjukkan pada Barat bahwa dia mampu mengatasi masalah militansi, " ujar Qazi Hussein Ahmed, Presiden Muttehida Majlis-e-Amal (MMA), aliansi partai-partai Islam yang menjadi oposisi. Andai tengarai Hussein Ahmed itu benar, maka, sebegitukah ongkos yang harus ditunjukkan oleh para penguasa sebagai bentuk kesetiaan kepada Amerika? [cha, berbagai sumber/www.hidayatullah.com]

Al Ghazi: Ulama yang Pernah Bekerja Untuk “Barat”

Rabu, 11 Juli 2007

Tokoh utama yang ikut tewas oleh serangan aparat Pakistan adalah, Maulana Abd Rasyid Al Ghazi. Siapakah sesungguhnya dia? Mengapa bisa membawa senjata?

Hidayatullah.com--Abdur Rasyid Al Ghazi sejak kecil memang telah menghafal Al Qur’an, akan tetapi ia enggan untuk melanjutkan sekolah diniyah dan memilih untuk menjalani pendidikan tingkat SMU di sekolah pemerintah. Ayahnya, Abdullah sebenarnya menginginkan agar ia bisa menjadi penggantinya kelak, seperti kakaknya Abdul Aziz.

Akan tetapi ia cenderung memilih sekolah umum. Ia pernah mencoba untuk mengikuti pendidikan di Jami’ah Al Faridiyah yang berada satu komplek dengan Masjid Merah, tapi tidak lama kemudian ia keluar dan melanjutkan ke salah satu universitas negeri di Karachi hingga memperoleh gelar master dalam bidang sejarah dan fasih dalam bahasa Inggris.

Tak lama setelah itu, ia menjadi pegawai yang berada dibawah Kementrian Pendidikan, dan bahkan kemudian bekerja di salah satu badan PBB yang bergerak dalam bidang pendidikan (UNESCO).

Baru setelah ayahnya Abdullah dibunuh karena alasan agama tahun 1998, sifat Al Ghazi berubah total. Ia bahkan begitu perhatian dengan isu-isu keagamaan. Ia bahkan mulai berkhutbah di masjid. Itulah yang membuat kakaknya Syaikh Abdul Aziz bergembira dan menunjuknya sebagai wakil imam di Masjid Merah walau ia masih tetap menjadi pegawai pemerintah.

Nama Abdul Rasyid Al Ghazi tambah berkibar sebagai tokoh agama di media-media masa pada tahun 2001. Terutama, ketika kelompok-kelompok Muslim mendirikan ”Gerakan Pembela Afghanistan” untuk merespon serangan Amerika ke Afghanistan.

Ia juga sebagai salah satu tokoh penting yang berada di balik berbagai demonstrasi yang terjadi di Pakistan sebagai penentangan atas serangan Amerika ke Afghanistan pada waktu itu.

Sejak saat itu, namanya terus dikenal. Sampai-sampai, beberapa pihak, tepatnya tahun 2004 terjadi usaha percobaan pembunuhan terhadap dirinya dan kelompoknya. Akibat seringnya terjadi usaha pembunuhan, menyebabkannya selalu menaruh senapan Klasenkov buatan Rusia di dalam mobilnya. Kemungkinan, pembunuhan sang ayah, telah ikut mengilhaminya hingga untuk selalu membawa senapan ke manapun saat pergi dengan pengawalan teman-temannya. Apalagi di tempat itu, senjata sisa perang Afghan masih mudah di dapat. Yang sedikit orang tahu, Al Ghazi, adalah pejuang tegakknya syariah Islam di Pakistan. Yang, tentu saja paling kurang diinginkan Barat. [IoL/Toriq/www.hidayatullah.com]

160 Santri Tewas oleh Serbuan Aparat Pakistan


Cetak halaman ini Kirim halaman ini melalui E-mail
Rabu, 11 Juli 2007
Aparat Pakistan akhirnya menyerbu Masjid Merah. Tak ayal, puluhan santri sekitar 169 orang lebih tewas oleh terjangan senjata

Hidayatullah.com—Aparat keamanan Pakistan akhirnya menyelesaikan persoalan berkaitan dengan Masjid Merah (Lal Masjid) dengan harus menewaskan 160 santri, termasuk pemimpin kharismatik sekolah Islam Maulana Abdul Rashid Ghazi.

Sebagaimana diketahui, pasukan pemerintah yang sudah sepekan mengepung masjid itu nekat menyerbu madrasah yang terhubung di sampingnya. Pasukan pemerintah melancarkan serangan menjelang fajar kemarin. Namun, hingga sepuluh jam setelah penyerbuan, pasukan pemerintah belum berhasil menangkap santri yang bercokol di masjid tersebut.

"Kelompok pertama yang dibebaskan para santri adalah 50 perempuan. Mereka tiba-tiba muncul menyusul 26 anak yang melarikan diri," kata Khalid Pervez, pejabat senior pemerintah kota Islamabad.

Menurut salah seorang pejabat militer yang tidak mau menyebutkan identitasnya, istri dan anak perempuan Maulana Abdul Aziz termasuk dalam kelompok sandera yang dibebaskan. Aziz adalah saudara laki-laki ulama Abdul Rashid Ghazi sekaligus pemimpin Masjid Lal yang melarikan diri dengan mengenakan burqa pada hari kedua krisis.

Operasi pembebasan sandera tersebut mendapatkan perlawanan hebat dari kelompok santri yang bersembunyi di dalam masjid. Jubir militer Mayjen Waheed Arshad mengatakan, baku tembak berlangsung menegangkan. "Untuk menghindari terjadinya kerusakan parah, kami melakukan aksi tersebut secara bertahap. Kami memasuki kamar satu per satu," terang Arshad dalam konferensi pers kemarin.

Namun rencana itu berubah saat Presiden Pakistan, Pervez Musharraf mengizinkan pasukannya melancarkan aksi militer ke masjid tersebut setelah pihak pemerintah menganggap upaya perundingan gagal. Beberapa menit sebelum penyerbuan, mantan PM Chaudhry Shujaat Hussain menegaskan bahwa perundingan dengan Ghazi tidak membuahkan hasil.

"Perundingan gagal karena Ghazi meminta disediakan jalur aman untuk santri asing," lapor Menteri Agama Ijaz-ul Haq.

Ulama senior Rehmatullah Khalil yang terlibat dalam negosiasi tersebut menuding Musharraf sebagai biang kegagalan tersebut. Menurut dia, pemimpin 63 tahun itu telah menyabotase draf kesepakatan yang disusun sebelumnya. Sebenarnya Hussain telah merancang kesepakatan yang diyakini akan disetujui Ghazi.

"Kami senang mendengar rancangan itu dan berharap bisa memberikan kabar baik kepada masyarakat. Tapi, pemerintah kemudian mengubah hampir seluruh isi rancangan tersebut," tuturnya kemarin.

Tak pelak, bentrokan terjadi. Santri yang bersenjata peluncur roket dan senapan mesin memindahkan Ghazi dan beberapa sandera ke sebuah kamar di lantai dasar.

Senangkan Barat

Keputusan Musharraf menyerbu masjid yang berada di jantung kota Islamabad tersebut disambut hangat sejumlah pakar politik. Sebab, menurut mereka, pemimpin pro-Amerika Serikat (AS) itu dihadapkan pada pilihan yang sama-sama sulit. Yaitu, bertahan di luar masjid dengan konsekuensi akan menghadapi ancaman teror pada masa-masa mendatang atau menggempur mereka dan menghadapi pertumpahan darah.

Karena itu, keputusan yang diambil Musharraf sudah tepat untuk mencegah terjadinya ancaman serupa pada masa yang akan datang. "Gejala ekstremisme di Pakistan sudah lebih nyata daripada ancaman semata. Gejala tersebut sudah mulai menggerogoti keamanan internal negeri ini," papar Rasool Bakhsh Raees, profesor ilmu politik di Lahore University of Management and Sciences yang pro pemerintah.

Munculnya krisis Masjid Lal secara tidak langsung telah menjadikan Musharraf sebagai pusat perhatian. Bagaimanapun, Musharraf dikenal sekutu dekat Presiden AS George W. Bush dalam perang antiteror global. Karena itu, ada anggapan, keputusan menyerang –meski itu mengorbakan rakyatnya sendiri—lebih baik dibanding reputasinya jatuh di mata Amerika.

"Jika pemerintah meluluskan permintaan Ghazi, citra Musharraf di mata negara-negara Barat akan hancur," papar Tauseef Ahmed, salah seorang dosen di Urdu University, Karachi.

Sementara itu, hingga hari ini tidak jelas benar, bagaimana sekolah Islam dan para santri itu bisa melawan aparat dengan menggunakan senjata. Dan tak satupun media -khususnya Barat-- secara kritis melakukan investigasi, dari mana sumber-sumber senjata itu diperoleh atau dipasok.

Harap tahu saja, santri Masjid Merah dikenal kuat mengkampanyekan syariah Islam. Namun media Barat –sebagaimana biasa diikuti serempak pers Indonesia tanpa seleksi—semua langsung menuduh seolah-olah mereka adalah kelompok militan dan kelompok radikal yang layak ditembaki. [cha, berbagai sumber/www.hidayatullah.com]