Hidayatullah.com—"Kejahatan kita tidak seberapa dan tidak seharusnya dihukum seberat ini," demikian jawaban ulama yang juga pemimpin Masjid Merah, Maulana Abdul Rashid Ghazi sebelum dikabarkan ikut meninggal oleh serangan pasukan Pakistan sebelum ini.
Meskipun demikian, dirinya mengaku tak akan tunduk di bawah naungan pemerintahan Musyarraf yang diakuinya telah keluar dari syariah Islam. ”Sejumlah menteri melakukan kontak telepon kepada saya supaya menyerah. Akan tetapi, kepada mereka saya mengatakan tak akan menyerah dan siap mati," ujarnya dikutip sebuah media Iran.
Ghazi adalah tokoh utama sekolah Islam yang satu kompleks dengan masjid utama yang dikenal sebagai Masjid Merah. Letak sekolah itu sendiri berada disamping masjid.
Kasus pengepungan Masjid Merah sesungguhnya bermula sudah cukup lama. Setidaknya, dimulai dengan memburuknya hubungan antara pihak pemerintah (diwakili Presiden Pervez Musharraf) dan Maulana Abdul Rashid Ghazi di pihak lain akibat perbedaan pandangan.
Beberapa bulan sebelum terjadinya kasus pengepungan areal masjid dan sekolah Islam itu, hubungan pemerintah Pakistan dengan jamaah masjid Merah sangat buruk yang akhirnya berujung serbuan yang menewaskan 160 santri kemarin.
Sebagaimana diketahui, ulama dan santri menuduh pemerintah Pakistan telah keluar dari Islam. Maulana Abdul Rashid menganggap, Musharraf adalah pemerintahan yang thahgut.
Harap tahu, Masjid Merah adalah masjid yang menjadi basis bagi penegakan syariah Islam di pakistan. Para ulama dan santri di Masjid Merah menganggap, berbagai tindakan Musharraf –khususnya hubungannya dengan AS—telah keluar dari Islam. Itu ditandai kedekatan Musharraf dengan Amerika, yang setidaknya telah banyak mengorbankan warga Muslim negeri itu. Tak sedikit para santri, ulama atau aktivis Islam sudah diserahkan Musharraf ke Amerika dan selanjutnya dibawah ke Guantanamo dengan alasan ’kampanye melawan teror’ nya Amerika.
Hubungan itu terus memburuk, sampai pada desakan pihak ulama Masjid Merah agar Mushararraf menerima pengadilan Syariah. Musharraf yang sejak awal seorang militer dan lebih dekat dengan Amerika tentu saja menolak. Suasana kian meruncing, tatkala aparat Pakistan melakukan penghancuran tujuh masjid dengan alasan ilegal. Sejak itu suasana ini menjadi makin panas hingga berujung pada pengepungan masjid tanggal 3 Juli 2007.
Sebaliknya, para santri dan pengasuh menilai, dirinya, kini, telah berhadapan dengan pemerintah Pakistan yang dan wajib hukumnya melancarkan aksi-aksi perlawanan yang dinilainya sebagai amar ma'ruf nahi munkar dan berakhir dengan yang berakhir meninggalnya 160 santri itu.
Simpati Barat
Entah karena ingin mencari simpati pada dunia atau ingin mendapat pujian Amerika, tiba-tiba Pakistan menyelesaikan konflik ini dengan menyeret pada stigma Al-Qaidah, tuduhan paling mudah untuk mebolehkan membunuh kaum Muslim.
Sebagaimana dikutip AFP, aparat menuduh di belakang Masjid Merah ada organisasi Harkatul-Jihad-e-Islami, (Gerakan Perang Suci Islam), salah satu organisasi Islam yang dikait-kaitkan AS dengan Al-Qaidah. Menariknya, penyebutan kelompok itupun masih pada taraf kecurigaan. Artinya, belum jelas benar.
"Kami yakin di sana ada militan dari Harkatul-Jihad-e-Islami, yang terlibat pembunuhan Pearl. Berdasarkan intelijen, kami mencurigai bahwa dua orang komandan kelompok itu ada di dalam," kata seorang pejabat tinggi kepada AFP yang tak mau disebut namanya.
Ghalibnya, berbagai media massa Barat (bahkan juga ditiru media Indonesia) ikut ramai-ramai mengamini tanpa melihat akar masalah. Penyebutan istilah radikal, aliran keras, seolah membolehkan membunuh banyak orang secara seenaknya.
Sejumlah anggota legislatif dan akademisi menuding Musharraf tutup mata terhadap upaya para ulama di Masjid Merah dalam bidang pendidikan. Mereka menilai peristiwa ini sebagai upaya Musharraf untuk mengalihkan perhatian rakyat dari isu-isu pemerintah yang lebih penting.
Karena itu, para pemimpin oposisi Pakistan mendesak Presiden Pervez Musharraf untuk mengundurkan diri dari jabatannya. Mereka juga mendesak pemerintah untuk mengizinkan mantan Perdana Menteri Benazir Bhutto dan Nawaz Sharif agar dapat kembali pulang ke negaranya.
Dalam pernyataan bersama di sebuah konferensi di London, Inggris, para pemimpin oposisi menyatakan peraturan militer Presiden Musharraf terbukti telah membawa Pakistan ke jurang kehancuran, perpecahan dan kerusuhan. Parlemen Pakistan sendiri sudah dipinggirkan dan tidak punya kekuatan lagi.
Konferensi yang dihadiri 38 perwakilan partai itu mendesak Presiden Musharraf mundur dari jabatannya. Pervez Musharraf mulai berkuasa sejak 1999 dalam sebuah kudeta yang menyingkirkan Nawaz Sharif. Ia kemudian menyatakan dirinya sebagai presiden tahun 2001.
Sementara itu, Mantan Perdana Menteri Pakistan Nawaz Sharif menuntut Musharraf mengundurkan diri menyusul meningkatnya instabilitas dan banyaknya upaya pembunuhan terhadap Musharraf.
"Dia harus mundur. Jika tidak, 160 juta penduduk Pakistan akan memaksa dia mundur," kata Sharif di sela-sela sebuah konferensi di London, Inggris, Sabtu. Sharif juga menyerukan digelarnya pemilu baru di bawah sebuah pemerintahan sementara yang tidak melibatkan Musharraf.
Musharraf menghadapi instabilitas yang semakin meningkat dalam beberapa bulan terakhir, termasuk pendudukan Masjid Merah, serangan kelompok Islam, dan gelombang protes akibat kebijakannya memecat hakim agung.
Instabilitas itu memicu spekulasi bahwa Musharraf akan mendongkrak dukungan meMerahui kesepakatan pembagian kekuasaan dengan Mantan Perdana Menteri Benazir Bhuto dan Partai Rakyat Pakistan yang dipimpinnya.
Sebaliknya, tokoh-tokoh opisisi Pakistan berpendapat lain. Seorang tokoh oposisi menilai, tindakan Musharraf hanya ingin menunjukkan pada Barat (baca Amerika) bahwa Pakistan bisa menanggulangi kelompok Islam.
"Pemerintahan Musharraf yakin semua persoalan bisa diselesaikan dengan kekuatan militer dan peluru, tidak peduli apa reaksi yang muncul. Pemerintah sengaja mengangkat isu ini, kemudian melancarkan operasi berdarah, untuk menunjukkan pada Barat bahwa dia mampu mengatasi masalah militansi, " ujar Qazi Hussein Ahmed, Presiden Muttehida Majlis-e-Amal (MMA), aliansi partai-partai Islam yang menjadi oposisi. Andai tengarai Hussein Ahmed itu benar, maka, sebegitukah ongkos yang harus ditunjukkan oleh para penguasa sebagai bentuk kesetiaan kepada Amerika? [cha, berbagai sumber/www.hidayatullah.com]