Monday, April 2, 2007

Penadah Pasir Bernama Singapura

Liputan6.com, Kota Batam: Peraturan bukan mesiu ampuh menaklukkan para pengeruk pasir di kawasan Kepulauan Riau. Padahal larangan ekspor pasir yang diberlakukan pemerintah sudah berlaku sejak awal Februari lalu atau hampir dua bulan. Namun toh isi perut bumi Lancang Kuning terus dikeduk. Pasir, tanah, dan batu-batuan diduga dijual ke Singapura [baca: TNI AL Memperketat Pengawasan Jalur Penyelundupan Pasir].

Pekan lalu Tim Sigi sempat mengabadikan aktivitas pengerukan di salah satu sudut Kota Batam. Pengerukan pasir di tempat ini sudah berlangsung bertahun-tahun, baik ada atau tidak ada pelarangan. Kebanyakan penambangan pasir beroperasi tanpa izin alias ilegal.

Otaknya sudah tentu bukan warga biasa. Buktinya pengerukan dilakukan dengan alat-alat berat dan truk-truk besar yang membutuhkan modal tidak sedikit. Ratusan ribu meter kubik pasir dikeruk dari perut bumi provinsi ini. Tak peduli siang atau malam.

Gairah para penambang pasir tampak pula di Pulau Buluh Patah, Moro, Karimun, dua pekan lalu. Di lokasi ini ratusan ribu ton pasir darat siap diekspor ke Negeri Singa. Menurut Bakri, manajer operasi penambangan pasir setempat, dalam sebulan pihaknya bisa mengirim pasir darat antara 10 hingga 12 kali pengapalan. "Dalam sebulan 15 ribu kubiklah," ujar Bakri.

Selain pasir murni, di Karimun juga masih beroperasi sebuah perusahaan penambangan granit milik seorang pengusaha di Singapura. Karena tidak termasuk beleid larangan, perusahaan seperti ini masih leluasa menggerus bukit-bukit hingga rata dengan tanah. Tentu saja pasir granit ini juga diekspor ke Negeri Singa.

Satu dari sejumlah daerah yang kini merana akibat aktivitas penambangan adalah Tanjung Balai Karimun. Di sini penambangan pasir nyaris 100 persen dipasok ke Singapura. Aktivitas pengerukan telah berlangsung sejak 1973.

Data Dinas Pertambangan setempat menunjukkan jumlah perusahaan yang giat melakukan eksploitasi pasir laut hingga 2002 mencapai 36 perusahaan. Belum termasuk perusahaan eksplorasi pasir darat sebanyak 18 perusahaan dan pasir granit sebanyak 12 perusahaan.

Karena sudah dilarang, pasir-pasir itu lantas dikirim secara ilegal. Modus terbaru dengan cara menutup permukaan pasir darat dengan granit. Modus lain yaitu dengan mengoperasikan tongkang-tongkang di malam hari. Aksi main kucing-kucingan pun tak terhindarkan seiring gencarnya patroli pihak TNI Angkatan Laut di perairan Kepri.

Berdasarkan pemantauan Tim Sigi dengan pesawat pengintai Nomad TNI Angkatan Udara ternyata memperlihatkan kenyataan yang lebih mengenaskan. Di sejumlah titik perairan didapati kapal-kapal menarik tongkang penuh muatan pasir puluhan ribu meter kubik.

Masih berlangsungnya kegiatan bisnis pasir ini ditanggapi secara kritis oleh Djoko Susilo, anggota Komisi Pertahanan dan Luar Negeri DPR. Menurut Djoko, hal ini mengindikasikan bahwa Singapura tidak menghargai hukum RI. Karena itu tindakan hukum yang tegas perlu diambil. "Kalo hanya didenda Rp 5 juta saja kan enggak kapok-kapok itu," kata Djoko.

Sepanjang dua bulan terakhir ini penyergapan terhadap penyelundup pasir memang kerap digelar. Tim Sigi yang menumpang KRI Sibarau sempat memergoki tugboat menarik tongkang bermuatan pasir laut melintas perbatasan Riau-Singapura.

Semua awak kapal ternyata warga negara Indonesia, namun kapalnya berbendera Malaysia. Kapal ini akhirnya dibebaskan. Sumber Sigi di pihak TNI AL menyebutkan pemakaian kapal berbendera asing adalah modus baru dalam ekspor pasir. Terhitung sejak keluarnya larangan ekspor pasir, telah sebanyak 80 tugboat dan tongkang yang ditangkap petugas.

Di antara tugboat yang ditangkap adalah TB Winstar Victory yang menggandeng tongkang Winstar 2308 berbendera Singapura milik PT Citra Maritimindo Pratama, tugboat Dabo-12 yang menggandeng tongkang Sing Lian Huat 2312 milik PT Bahtera Bestari Shipping, dan tugboat Buana Ocean yang menggamit tongkang Golden Anchor milik PT Buana Bangun Sejati.

Meski dilarang, para pemain bisnis pasir masih punya pembelaan. Mereka mengaku sudah membayar kepada pemerintah daerah setempat melalui aneka pungutan. "Kami setorkan ke kas daerah," aku Basri.

Ditengarai bisnis ini melibatkan para pemain besar. Jika bukan orang Singapura, orang berpengaruh di Riau, orang berduit di Jakarta atau dibekingi orang besar.

Negeri Singa memang berambisi meluaskan wilayahnya [baca: Reklamasi Pantai, Luas Singapura Bertambah]. Menurut Prof. Dr. Nasir Harun, peneliti laut Kepri, pasir kita bagi negara tersebut menggiurkan karena harganya sangat murah. Karena itu sejak era 70-an negeri jiran itu telah mengincar pasir Indonesia. Diperkirakan wilayah Singapura akan bertambah sekitar 50 persen dari aslinya pada 2025.

Sebagai perbandingan, pada 1991 luas wilayahnya cuma 633 kilometer persegi. Tahun 2001 luas negara ini bertambah menjadi 760 kilometer persegi. Jadi luas daratan negeri ini bertambah 20 persen hanya dalam tempo 10 tahun. Kini berkat pasir-pasir kita, Singapura sudah mampu menyatukan sembilan pulau yang tadinya terpisah.

Salah satu proyek reklamasinya di Pulau Tekong, yang berbatasan dengan wilayah Johor, Malaysia. Pulau ini sebelumnya terdiri dari tiga pulau, tapi kini sudah menyatu. Di pulau yang tadinya kecil ini juga sudah berdiri beberapa bangunan.

Di sisi lain, pengerukan pasir menyebabkan kerusakan lingkungan yang amat parah. Tengoklah nasib Pulau Sebaik yang berjarak tempuh kurang lebih dua jam dari perairan Batam. Permukaannya seperti hamparan cadas, gersang. Di sana-sini menyisakan lubang-lubang raksasa yang menganga, bekas galian para penambang yang tak bertanggung jawab. Secara umum kondisi pulau seluas 70 hektare ini nyaris rata dengan air laut [baca: Pulau Sebaik Rusak Akibat Penambangan Pasir].

Tidak hanya Pulau Sebaik. Pulau-pulau lain di Kepri kondisinya juga hampir sami mawon seperti Pulau Dompak, Sugi, Ciltim, dan Kombol. Pulau Nipah, misalnya, jika air laut pasang, maka daratannya akan tenggelam. Padahal, pulau ini merupakan pulau yang paling ujung berdekatan dengan Negeri Singa.

Saat ini Pulau Nipah sedang direklamasi mengingat kondisinya yang sudah parah. Biaya reklamasinya juga tak tanggung-tanggung, sekitar Rp 250 miliar. Sedangkan duit yang diperoleh dari pajak dan retribusi penambangan pasir hanya berkisar Rp 11 miliar hingga Rp 13 miliar.

Bukan tak mungkin bila penambangan pasir dan granit terus dibiarkan, anak dan cucu kita hanya melihat pulau ini dalam bacaan dongeng saja. Coba bandingkan dengan kondisi negeri tetangga yang selama ini menadah pasir-pasir legal maupun ilegal kita itu. Sebagian besar orang kaya Indonesia menghabiskan dolarnya berplesiran ke wilayah yang dulunya bernama Tumasik ini.

Sebuah mega proyek pun tengah digarap di sana melingkupi kompleks olahraga megah seluas 35 hektare, kompleks perjudian kasino, pusat bisnis, dan wisata lain. Nilai proyek kabarnya mencapai Rp 4,75 triliun. Sekarang membengkak menjadi Rp 5,9 triliun akibat naiknya harga pasir pascapelarangan ekspor.

Kini dengan proyek mega raksasa itu pulau-pulau kecil di selatan Singapura akan dipersatukan. Alhasil, daratan negara jajahan Inggris ini akan kian menjorok sejauh 12 km ke arah Indonesia. Untuk itu dibutuhkan bermiliar-miliar kubik pasir. Dari mana lagi jika tidak dari kita.

Kenyataan itu dinilai Djoko Susilo sebagai bentuk arogansi negara itu yang tak bertenggang rasa terhadap tetangganya. Karena itu anggota Komisi I DPR ini setuju jika untuk sementara waktu RI memulangkan duta besarnya dari Singapura. Apalagi sebelumnya negara kota itu juga menunjukkan sikap tak kooperatif dalam urusan ekstradisi para koruptor Indonesia yang melarikan uangnya ke sana.

Sayangnya permintaan wawancara Tim Sigi ke pihak Kedutaan Besar Singapura di sini tidak mendapat respons. Adrian Chung, Staf Khusus Kedubes Singapura untuk Urusan Media hanya menyebutkan pemerintahnya sudah mengeluarkan statemen di depan parlemen dan media di negara itu.

Negeri Singa sepertinya bergeming. Apapun kondisinya, gedung-gedung megah dan tempat plesiran mewah tetap harus tegak. Meski untuk itu harus menjadi penadah pasir.(MAK/Tim Sigi).

No comments: