Tuesday, April 24, 2007

Pengantin-Pengantin Pesanan


Liputan6.com, Jakarta: Setiap tahun di seluruh dunia ada sekitar 1,2 juta anak yang diperdagangkan. Rata-rata korban adalah anak perempuan di bawah umur. Sebagian besar dari mereka dieksploitasi secara seksual. Beragam modus digunakan pelaku untuk menjerat sasarannya.

Tim Sigi belum lama ini menelusuri praktik perdagangan manusia bermodus cukup rapi dengan sebutan pengantin pesanan atau Che siauw. Perdagangan anak perempuan ini terjadi dalam komunitas Tionghoa Indonesia.

Bagi kaum Cina miskin, Che siauw merupakan satu upaya untuk bisa keluar dari impitan kemiskinan. Namun, cara seperti ini terkesan kurang manusiawi bahkan sarat dengan penyelewengan. Banyak orang tua di kalangan ini yang tega menikahkan anak gadisnya yang masih belia kepada pria yang sama sekali tak dikenalnya. Ini dilakukan demi mendapatkan uang semata.

Biasanya Che siauw dimulai dengan proses pertemuan dan seleksi. Seperti yang terjadi di salah satu hotel di Jakarta Barat. Seorang pria Taiwan didampingi ibunya serta seorang penerjemah bertemu dengan dua amoy Indonesia. Hadir juga empat makelar perjodohan.

Pria Taiwan ini mengaku hendak mencari jodoh. Para makelar inilah yang membawa dan memperkenalkan si amoy kepada laki-laki itu. Si calon pengantin pria ternyata tak bisa memutuskan amoy mana yang akan dipilih. Dia menginginkan keduanya.

Para amoy ini biasanya didatangkan dari Kampung Belakang di pojokan Jakbar. Heni, misalnya. Gadis berusia 20 tahun ini bersedia dijodohkan dengan orang Taiwan meski usia si pengantin laki-laki sudah 56 tahun.

Pertemuan di hotel sudah dijalani Heni. Jika si lelaki Taiwan cocok, Heni tak menolak. Untuk itu, dia menerima uang sangjitan atau lamaran sebesar lima juta rupiah. Setelah itu Heni tinggal menanti kelengkapan surat administrasi sebelum diboyong ke Taiwan. "Kemauan diri sendiri untuk membantu orang tua," kata Heni.

Dari Kampung Belakang pula mengalir kisah tak sedap Che siauw. Bunga--bukan nama sebenarnya, yang baru berusia 15 tahun dijodohkan neneknya, Ci Bajaj, yang memang dikenal sebagai makelar perjodohan di Kampung Belakang. "Bukan menjual, tapi kita ingin dia berumah tangga dengan sebenarnya," kata Ci Bajaj, berdalih.

Bunga tak punya pilihan. Setelah semua proses dipenuhi dan uang lamaran diterima, pesta pertunangan digelar. Bunga kemudian hidup bersama lelaki yang usianya lebih pantas disebut kakek.

Bagi para makelar, apa yang menimpa Bunga tak layak dipikirkan. Apalagi sampai menghentikan bisnis pengantin pesanan. Para makelar level kampung biasanya mendapat angpau dua juta rupiah setiap kali berhasil mempersembahkan amoy ke pelukan lelaki Taiwan.

Uang lebih besar akan diterima molang atau mak comblang yang berhubungan langsung dengan lelaki Taiwan. Menurut Moi Che, makelar pengantin pesanan, setiap menjodohkan uang mengalir ke koceknya antara Rp 40 juta hingga Rp 70 juta. Sedangkan pengantin perempuan dan keluarganya paling banyak mendapat uang lima juta hingga sepuluh juta rupiah.

Kota Singkawang, Kalimantan Barat, adalah salah satu daerah di Indonesia yang banyak dihuni warga etnis Tionghoa. Di kota ini pula kaum Cina miskin berjejalan. Praktik Che siauw sudah dikenal di Singkawang sejak tahun 1980. Molang dalam praktik ini perannya sangat dominan. Untuk memuluskan pekerjaan, tak jarang para molang mengintimidasi korban atau memalsukan dokumen.

Lantaran ulah molang pula, kehidupan Tung Sulang yang biasa disapa Alang berubah. Gadis berusia 16 tahun ini dijodohkan dengan seorang lelaki Taiwan. Alang mau melakukan itu dengan dalih menyelamatkan ekonomi keluarga. Dia berharap uang lamaran sebesar lima juta rupiah membebaskan ibunya dari belitan kemiskinan.

Belakangan Alang membatalkan niat lantaran si pria Taiwan kerap berbohong. Alang lantas mengadukan persoalan itu ke polisi. Kepolisian Resor Singkawang segera bertindak dengan menyergap mak comblang yang hendak menikahkan Alang. Tersangka dibekuk saat hendak membawa Alang ke Jakarta. Menurut Kepala Satuan Reserse dan Kriminal Polres Singkawang Ajun Komisaris Polisi M.
Hasin Risahondua, kasus Che siauw sulit terungkap jika korban tidak melapor.

Beruntung Alang selamat. Dia kini bebas kembali merajut masa depan. Jika tidak segera diselamatkan bukan tak mungkin Alang akan terjerat mafia perdagangan orang yang mata rantainya sangat panjang dan kuat.

Kasus trafficking dengan pengantin pesanan disebut Mariana Amiruddin, Manajer Program Yayasan Jurnal Perempuan bermodus cerdas. Pasalnya para pelaku tidak tersentuh hukum karena bermodal selembar surat pernikahan.

Contohnya pada kasus Alang. Tim Sigi melihat surat nikah Alang dikeluarkan Kantor Catatan Sipil Kabupaten Bengkayang. Dalam surat itu tertera Alang telah dikawinkan di Vihara Maitreya di hadapan pemuka agama bernama Amoi Sukiman.

Saat dikonfirmasi Amoi membantah telah menikahkan Alang. Amoi menyebut nama lain, yaitu Alim Aliok. Alim yang disebut orang nomor dua di lingkungan Vihara Maitreya mengaku hanya memberi pemberkatan bukan menikahkan. Setelah itu, Alim membuat surat keterangan pemberkatan. Tapi surat itu ditandatangani atas nama Amoi Sukiman.

Alim mengatakan, surat pernikahan Alang dibuat oleh Edward, petugas Kantor Catatan Sipil setempat. Edward yang ternyata tinggal di Singkawang mengakui dirinya mengurus dokumen pernikahan.

Direktur Lembaga Konsultasi dan Bantuan Hukum Perempuan dan Keluarga Singkawang, Rosita Nengsih mengatakan, kejadian yang menimpa para amoy ini termasuk trafficking karena ada unsur perekrutan, anak di bawah umur, dan pemalsuan dokumen. "Apalagi dalam kasus yang menimpa Alang. Tujuannya
adalah eksploitasi seks," kata Rosita.

Sementara menurut Iwan Gunawan, tokoh masyarakat Tionghoa Singkawang, Che siauw terjadi akibat warisan kemiskinan masa silam. Untuk mengubah nasib, mereka akhirnya melakukan pernikahan seperti itu.

Ironisnya, kata Eva Sundari anggota DPR perumus Undang-undang Trafficking, ada aparat pemerintah yang terlibat dalam kasus ini. "Bisa saja pegawai Dinas Tenaga Kerja atau petugas kelurahan yang suka membuat kartu tanda penduduk palsu. Mereka yang membantu bisa diberi tambahan hukuman sepertiga lebih berat," kata Eva.

Praktik Che siauw boleh jadi lahir akibat rumitnya menuntaskan masalah kemiskinan dan rendahnya tingkat pendidikan. Meski begitu, trafficking tak bisa dibiarkan. Anak-anak patut mendapat perlindungan dari berbagai modus eksploitasi. Jangan sampai Kartini muda Indonesia, layu sebelum berkembang.(IAN/Tim Sigi)

No comments: